Langsung ke konten utama

#SebulanCurcol #Day8: Memutuskan Bersenang-senang


Keputusan gila?
Agak susah ya memutuskan mana keputusanku yang memang benar-benar gila, karna hampir semua keputusan yang aku ambil selalu mengundang komentar yang sama: "gila lu mi!"

Jadi mari kita kerucutkan saja menjadi "keputusan gila terakhir yang aku ambil" ternyata saat dikerucutkan jadi lebih gampang untukku memilih mau bercerita tentang apa.

Keputusannya aku ambil bulan Juni 2017 lalu. Keputusan yang dianggap gegabah oleh banyak orang, bahkan selalu dibahas di rumah dengan embel-embel yang tak enak didengar.

Saat itu aku memutuskan resign dari tempat kerjaku, alasannya? Banyak, karna sistem yang kuanggap tidak menyenangkan, karna pekerjaan yang kuanggap kurang cocok denganku, karna alasan mengejar mimpi lain yang jauh lebih menantang, dan satu alasan yang paling besar mengambil porsi. Aku ingin rehat, aku ingin menikmati hidup.

Saat 19 tahun aku menjalani kuliah sekaligus menjadi relawan. Aku sangat bekerja keras di dua hal itu, bahkan pada akhirnya aku harus condong ke salah satunya dan menomer duakan kuliah. Aku berlari dengan cepat, menaiki tangga dengan segera. Mengesampingkan lelah. Meeting seminggu entah berapa kali, ke Jakarta hampir setiap bulan bahkan beberapa kali dalam sebulan untuk kegiatan a, b, c, dan lain sebagainya. Sampai pada titik, aku sadar, aku harus melanjutkan skripsiku.

Ternyata saat aku mencoba lagi fokus ke skripsi, aku kembali terbentur masalah "bayar biaya kuliah plus skripsi yang nggak murah dari mana?" Akhirnya aku mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan banyak berfikir, pekerjaan yang bagi aku mudah, tapi bisa menghasilkan pundi yang lumayan. Lagi-lagi semesta berpihak padaku. Dengan mudahnya aku diterima menjadi akunting di salah satu butik. Iya inilah pekerjaan terakhirku yang aku anggap kurang cocok untukku yang terbiasa mengkonsep.

Aku ingat betul, saat persiapan skripsi sampai akhirnya pemberkasan, hampir dua bulan sepertinya. Pukul 8 pagi aku sudah ada di kampus, mengumpulkan tanda tangan dosen, revisi, penelitian di laboratorium, ke perpustakaan mencari bahan dan lain sebagainya sampai pukul 4 sore. Setelahnya aku harus langsung ke tempat kerja dan baru pulang pukul 10 malam. Kemudian pukul 11 sampai pukul 2 pagi aku harus mengerjakan revisi. Dan begitulah hariku berulang. Aku rasa dulu aku punya kemampuan super. Aku yakin itu! Yang entah ke mana perginya sekarang?

Setelah skripsi rampung, aku memulai mimpiku yang baru, mimpi yang lebih besar, tapi sayangnya porsi kerja dan beban di kantor makin bertambah saat aku mulai berkomitmen bekerja profesional (9 to 5) dengan gaji yang bertambah. Hampir setiap hari aku pulang dengan badan lelah, malamnya aku harus mengkonsep mimpiku, kadang aku harus menggambar di corel, dan mengedit foto. weekend saat tak ada rencana travelling aku selalu menghabiskannya dengan tidur. Rutinitas ini aku jalani selama 8 bulan sampai mimpiku terwujud perlahan dan aku merasakan lelah luar biasa. Aku tak punya waktu untuk diriku sendiri selain ke bioskop sekali atau dua kali dalam seminggu, tak punya waktu yang cukup untuk bertemu teman-temanku, tak punya waktu yang hanya kuhabiskan untuk selonjoran dan membaca buku atau sekedar menonton drama korea tanpa otak yang berfikir keras.

Akhirnya Juli 2017 aku memutuskan untuk rehat, membayar masa remajaku yang kutukar dengan kerja keras. Membayar waktuku yang membanjir dengan detik yang menetes.

Jangan pikir keputusan bersenang-senang ini keputusan yang bahagia dijalani. Tabunganku yang tak seberapa itu aku yakin akan habis dalam waktu yang cepat, sedangkan bersenang-senang pun butuh uang. Aku pun butuh modal untuk membiayai mimpiku. Dan rasanya setiap orang yang tau aku tidak lagi bekerja selalu punya waktu dan materi untuk menceramahiku 3 SKS bahkan lebih.

Dan yah, saat ini enam bulan sudah berlalu. Aku masih mencoba menikmati hidup yang mulai tak lagi menyenangkan rasanya. Sudah mulai bosan dengan rutinitas gegoleran tanpa henti. Mungkin dalam waktu dekat keputusan gila lain akan aku ambil untuk menukar hariku yang dijadikan bahan iri hati banyak orang ini. Cukuplah 6 bulan ini aku hanya menonton dan membaca. Saatnya kembali didera. Semoga siksanya tetap menyenangkan. Itu saja harapanku saat ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Dan Pengalaman Sakaw Aroma Karsa (Full Spoiler)

“Kalau wewangian bisa berbicara, suaraku pasti sudah habis menyapa mereka satu demi satu”  Jati Wesi (Surat-Surat Dari Grasse. Aroma Karsa – part 8) “Dari semua yang pernah kukenal, kamu orang pertama yang bisa membaui dunia seperti yang kubaui, yang bisa mencium apa yang kucium. Orang pertama yang mengerti.” – Jati Wesi (Separuh Misteri. Aroma Karsa – part 7) “Asmara tidak bisa dipahami, Cuma bisa dirasakan akibatnya” – Empu Smarakandi Beberapa bulan ini aku sedang keranjingan satu karya yang berhasil membolak balik pikiranku, yang membuat hatiku berjangkar di sana tanpa mau berpindah sejak awal kalimatnya sampai. Aroma Karsa, satu lagi karya terbaru Dee Lestari yang baru 16 Maret 2018 lalu resmi terbit di toko buku. Aroma Karsa sendiri diterbitkan dalam dua versi, buku dan digital. Secara digital, buku ini diterbitkan dalam format cerbung yang dibagi dalam 18 part setiap hari senin dan kamis mulai Januari lalu oleh Bookslife. Seperti yang terlihat pada p

#SebulanCurcol #Day12: Aku #SobatDrakor

Hari ini masuk ke tema yang lumayan receh dan ringan nih di #SebulanCurcol setelah kemarin mengharu biru ngomongin pesan buat anak kita kelak. Kalau ngomongin hobi, di CV aku cuma masukin empat padahal sebenarnya ada lima hobi yang aku selalu lakukan. 1. Dengerin musik 2. ‎Baca buku fiksi 3. ‎Nonton 4. ‎Jelajah pantai Dan yang terakhir, yang terlalu random untuk ditulis di CV adalah 5. ‎Nyampul buku Kalau dengerin musik kayanya bukan hobi lagi ya, tapi sudah masuk kebutuhan bagi aku. Disaat apapun, kondisi apapun musik adalah hal esensial buat aku. Musik itu elemen penting untuk menambah konsentrasi bagiku. Belajar, nyetir, bahkan dulu saat rapat-rapat penting dan krusial aku selalu butuh musik supaya tetap waras dan bisa konsentrasi jauh lebih lama. Oke, lain kali mungkin aku akan cerita soal musik di hidupku. Kalau poin kedua dan keempat sepertinya sudah sering masuk dicerita-cerita lainku di blog ini. Soal hobi menyampul buku pun sepertinya pernah aku baha

Senandika

Yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati. Ada banyak hal yang tandang dalam pikir. Sebagian pergi, sebagian mampir sejenak, dan sebagian lagi menetap. Mengakar dan dalam. Pernah ada yang datang mengancapkan akar, cukup kuat nan mengubah perjalanan. Dunia berubah, kenyataan berubah, dan ia pun sama berubahnya. Kemudian kemarin, rasanya baru kemarin satu lagi mampir. Terlampau indah untuk dilewatkan, tapi pun terlalu mengawang membawanya datang di pangkuan. Kemudian pertanyaan datang, apa saatnya rehat? Apa memang saatnya mengembalikannya lagi mengawang? Jalannya redup nan pincang. Hanya saja harapan masih menyala redup menantang. Apakah ini saatnya? Atau apakah boleh merayu sekali lagi? Apakah boleh mengetuk kembali ke pintu yang sama, harapan yang sama? Tapi yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati.