Langsung ke konten utama

#SebulanCurcol #Day21: Dia

Aku tak punya banyak memori tentang pacaran, cinta-cintaan, atau sekedar pendekatan yang manis. Sejak remaja sampai sekarang lebih tepatnya, aku terlalu nyaman dengan kesendirian, menikmati hari tanpa harus repot memikirkan perasaan orang lain yang kebetulan menjangkarkan hatinya padaku. Tentu saja ini hanya pemikiran pribadiku, tapi entah mengapa pemikiran satu ini susah sekali digoyahkan. Sebagian menilai aku hanya takut berkomitmen, sebagian lagi menilai “ya kamu aja belum nemu yang cocok”. Ya, mungkin benar.

Dari semua kisah cinta yang pernah aku jalani, dari yang berhasil membuat aku kelimpungan, mereka yang pernah singgah sebentar sampai aku lupa namanya, atau bahkan dia yang datang tiba-tiba, tinggal sementara kemudian berpisah, aku selalu berusaha mengingat kisah itu lewat momen manis dan mencoba mengesampingkan segala yang membuat kami akhirnya menyudahi kisah kami. Itulah mengapa aku tidak pernah membenci mereka yang pergi atau yang memang sengaja aku tinggalkan.

Kalau ditanya tentang jatuh cinta terindah? Ya, dia orangnya. Seorang yang datang lewat jalan yang tak terduga, yang hanya dengan dua kali pertemuan sudah berhasil membuat aku berani berkomitmen. Dia dengan segala pemikiran bijaksananya yang tidak pernah sedikitpun meragukan keputusanku. Dia yang selalu meminta waktu untuk dirinya sendiri, begitupun dia yang dengan rela memberikanku waktu untuk diriku sendiri.

Kami menjalani lima bulan LDR Surabaya-Semarang saat itu, aku ingat bulan itu kegiatan kami luar biasa padatnya, sampai bertukar kabar pun jarang, bahkan ritual telfon malam kami juga jarang kami lakoni karna kelewat kelelahan. Aku ingat, saat itu hanya ada satu akhir pekan kami yang kebetulan kosong kegiatan. Dengan nada bercanda diakhir obrolan telfon kami, aku dengan santai berujar "enak kali bang kalo besok kamu ke sini, nggak pengen ngobrol yang beneran ketemu apa?" Keesokan paginya tanpa ada kabar sebelumnya dia menelfon untuk berkata "dek, bangun. Jemput di stasiun dong. Aku udah di sini" dan hari itu kuawali dengan mandi terburu-buru.

Begitulah dia. Bukan seorang yang sering melontarkan kalimat manis, tapi selalu punya cara membuatku terkesan dengan banyak tindakannya.

Bersama dia adalah waktu dimana aku belajar teramat banyak. Salah satunya menjadi seorang yang belajar untuk lebih banyak mendengar dibanding menuntut. Dia selalu meyakini, dibalik suatu tindakan selalu ada alasan yang baik. Kalau kita hanya menuntut tanpa mendengar, selamanya kita tak akan pernah mengerti.

Waktu bersamanya pun menjadi waktu dimana lompatanku terasa lebih tinggi dan jauh. Bukan karna dia selalu membantu, tidak. Semuanya karna dia yang selalu melebur segala kekhawatiranku sampai tak bersisa, hingga aku hanya terfokus pada tujuanku.

Sampai saat ini, bertahun setelah kami berpisah, dia masih menjadi seorang yang sering mampir, berucap rindu dan menyemangati. Dia masih tetap dia yang luar biasa di mataku. Dia yang tau betul apa maunya dan selalu fokus pada tujuannya.

Bersama dia, waktuku tak pernah sedikitpun kusesali berlalunya. Bersama dia aku sungguh merasakan menjadi diriku sendiri yang berani. Seandainya kesempatan itu datang kembali aku sungguh akan berdoa supaya keyakinan akan menjadi bener-benar milik kami. Tapi kalau memang tidak begitu, semoga aku dapat mengulang kisah yang sama dengan orang yang berbeda. Begitupun dia.



Ps: kalau mau baca cerita lain tentang dia, klik di sini ya 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Dan Pengalaman Sakaw Aroma Karsa (Full Spoiler)

“Kalau wewangian bisa berbicara, suaraku pasti sudah habis menyapa mereka satu demi satu”  Jati Wesi (Surat-Surat Dari Grasse. Aroma Karsa – part 8) “Dari semua yang pernah kukenal, kamu orang pertama yang bisa membaui dunia seperti yang kubaui, yang bisa mencium apa yang kucium. Orang pertama yang mengerti.” – Jati Wesi (Separuh Misteri. Aroma Karsa – part 7) “Asmara tidak bisa dipahami, Cuma bisa dirasakan akibatnya” – Empu Smarakandi Beberapa bulan ini aku sedang keranjingan satu karya yang berhasil membolak balik pikiranku, yang membuat hatiku berjangkar di sana tanpa mau berpindah sejak awal kalimatnya sampai. Aroma Karsa, satu lagi karya terbaru Dee Lestari yang baru 16 Maret 2018 lalu resmi terbit di toko buku. Aroma Karsa sendiri diterbitkan dalam dua versi, buku dan digital. Secara digital, buku ini diterbitkan dalam format cerbung yang dibagi dalam 18 part setiap hari senin dan kamis mulai Januari lalu oleh Bookslife. Seperti yang terlihat pada p

#SebulanCurcol #Day12: Aku #SobatDrakor

Hari ini masuk ke tema yang lumayan receh dan ringan nih di #SebulanCurcol setelah kemarin mengharu biru ngomongin pesan buat anak kita kelak. Kalau ngomongin hobi, di CV aku cuma masukin empat padahal sebenarnya ada lima hobi yang aku selalu lakukan. 1. Dengerin musik 2. ‎Baca buku fiksi 3. ‎Nonton 4. ‎Jelajah pantai Dan yang terakhir, yang terlalu random untuk ditulis di CV adalah 5. ‎Nyampul buku Kalau dengerin musik kayanya bukan hobi lagi ya, tapi sudah masuk kebutuhan bagi aku. Disaat apapun, kondisi apapun musik adalah hal esensial buat aku. Musik itu elemen penting untuk menambah konsentrasi bagiku. Belajar, nyetir, bahkan dulu saat rapat-rapat penting dan krusial aku selalu butuh musik supaya tetap waras dan bisa konsentrasi jauh lebih lama. Oke, lain kali mungkin aku akan cerita soal musik di hidupku. Kalau poin kedua dan keempat sepertinya sudah sering masuk dicerita-cerita lainku di blog ini. Soal hobi menyampul buku pun sepertinya pernah aku baha

Senandika

Yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati. Ada banyak hal yang tandang dalam pikir. Sebagian pergi, sebagian mampir sejenak, dan sebagian lagi menetap. Mengakar dan dalam. Pernah ada yang datang mengancapkan akar, cukup kuat nan mengubah perjalanan. Dunia berubah, kenyataan berubah, dan ia pun sama berubahnya. Kemudian kemarin, rasanya baru kemarin satu lagi mampir. Terlampau indah untuk dilewatkan, tapi pun terlalu mengawang membawanya datang di pangkuan. Kemudian pertanyaan datang, apa saatnya rehat? Apa memang saatnya mengembalikannya lagi mengawang? Jalannya redup nan pincang. Hanya saja harapan masih menyala redup menantang. Apakah ini saatnya? Atau apakah boleh merayu sekali lagi? Apakah boleh mengetuk kembali ke pintu yang sama, harapan yang sama? Tapi yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati.