Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Perbincangan Malam Hutan Pinus

Pohon pinus Rumput berembun Tenda Dan kompor yang gagal dinyalakan Api unggun Aku Sahabat perjalanan Dan kamu yang lelap di pelukan Malam Suara jangkrik Hembusan angin pegunungan Dan sebuah kebenaran yang tak diungkapkan Tanah basah Gerimis Semut hitam Dan kita yang sama-sama diam Rengkuhan Genggaman tangan Tatapan mata menguatkan Dan kita yang membiarkan cinta berlalu tanpa dibincangkan

Kegalauan 25

Tahun ini umurku seperempat abad, sudah memasuki step "orang-orang udah males nanyain kapan nikah karna slalu dijawab ntar". Tapi sejujurnya aku malah ngga pernah segalau sekarang untuk urusan nikah. *hembus nafas* Kenapa galau? Kenapa jadi mendadak mikirin? Weits, sapa sih yang ngga pernah mikirin soal pernikahan? Apalagi sekarang video prosesi akad dan resepsi pernikahan banyak banget di youtube, dan dikemas cantik & syahdu pula, makin lah hasrat mau nikah ini ada, dan sapa sih orang yang ngga pingin punya "rumah" untuk pulang? Selain itu, di umur yang segini dan banyak yang sudah dilalui, aku pribadi merasa ada step selanjutnya yang harus aku langkahi karna step skarang sudah habis tantangannya. Haha, memang bagiku hidup ini tantangan. 😀😀 Tapi ternyata ngga mudah buat cari calon yang pas. Apalagi untuk anak yang udah jomblo hampir dua tahun 😔😔(gak ada hubungannya sih). Sebenarnya yang ngebuat susah bukannya karna ngga ada yg deketin, tapi bagiku nik

Sehelai Roti Selai

Malam yang beranjak pekat, senja yang perlahan lelap, kamudian angin yang terasa makin padat. Tak ada lagi yang ku tunggu di sini, saatnya aku kembali ke jalanan beraspal, membingkai senja yang tadi terhampar. Lentera mulai menyala, musik mulai dihentak, pertanda pesta tlah dimulai. Di tempat ini kafe dan bar seperti jamur di padang lembab. Tumbuh subur dan makin lebat. Hari ini aku ingin berjalan saja, menikmati malam yang jauh dari ranum. Memandangi muda-mudi yang sedang menikmati makan malam mereka dengan sekaleng bir di meja dan tawa renyah. Aku tersenyum melihat mereka, hanya ingin tersenyum saja mengingat masa beberapa tahun silam. Aku terus berjalan, sampai satu mini market menggoda untuk aku masuki. Aku membeli air mineral, selembar roti selai, dan es krim yang ku comot segera sebelum berjalan ke arah kasir. Malam ini aku ingin menghabiskan makan malamku disini. Di sisi aspal, di bawah atap plang nama jalan. Di sebrang sana seorang pemuda sibuk mengarahkan

Saya Indonesia

Hay Indonesia. Saya pernah teramat kecewa padamu, saya bahkan pernah merasa menyesal lahir di wilayahmu, yang itu membuat saya otomatis menjadi wargamu. Dulu saya bukan orang yang akan membelamu di mata siapapun. Saya bahkan ikut mengamini semua hal yang menyinggung unsur negatifmu. Sampai saat ini saya bahkan masih memiliki rasa itu, mungkin sedikit, bisa jadi bertambah pekat, mungkin juga akan lenyap. Kalau banyak hati tlah terpanggil untuk mencintaimu, mungkin saya satu diantaranya. Saat ini saya sedang mencoba mencintaimu, perlahan. Dulu, di satu forum yang kebetulan menjadikan saya pembicara, saya pernah mendapat pertanyaan, "kalau kita berusaha membela Indonesia, mengapa Indonesia tak pernah menghargai kita?" Saya ingat, saya terdiam cukup lama, sampai akhirnya saya menjawab dengan pertanyaan "mengapa kita mempertanyakan bagaimana Indonesia menghargai kita? Lalu siapa Indonesia? Bukankah kita?" Sungguh pertanyaan yang sama sedang saya pertanyakan untuk d

Bukankah Kita Sama?

“Hay, aku Mimi.” “Hay, kenalin aku Radit” Begitulah kira kira percakapan awal pada setiap pertemuan. Setelah bertukar sapaan dan nama, kemudian jabat tangan yang terjadi. Setelahnya, kita kawan. Begitu bukan? Hanya nama dan jabat tangan yang seolah paling utama dalam hal berkenalan dengan orang baru, bukan dimana rumahnya, bukan siapa orang tuanya, dan bukan pula apa agamanya. Sayangnya, setelah pertemuan dan perkenalan pertama ini, muncul konsep selanjutnya yang secara tidak langsung tertanam pada benak kita. Untuk pertemuan lanjutan, terkadang kita menimbang perkara suku apa mereka, bagaimana keluarganya, dan apa agamanya. Entah dari mana konsep ini berasal, tapi konsep inilah yang akhirnya membuat kita mengotakkan sesama, dan merasa terkotakkan. Baiklah kalau sebagian orang tak merasakan, tapi aku merasakannya, dan sejujurnya aku merasa terganggu dengan konsep ini. Pernah satu saat aku bersama satu kawan perempuanku yang kebetunan seagama denganku, aku ajak bert

Semesta Baru

Waktu berdetak terlalu cepat akhir-akhir ini, itulah yang aku rasakan. Mungkin ini hanya salah satu akibat dari aku yang sedang didera, dicambuk banyak impian yang menunggu digapai. Aku sudah tak lagi menyembuhkan luka, aku sudah tuntas memaafkan masa lalu. Aku sudah lama beranjak, tak lagi berkubang dalam jurang yang seolah nyaman. Aku tau, kemarin adalah proses panjangku untuk mengikhlaskan banyak hal. Sesuatu yang dulu menjadi semestaku, sesuatu yang pernah selalu menjadi alasanku bangun tiap harinya, merelakan waktu berlalu dengan otak yang tak henti berfikir. Sayangnya, masaku habis disana. Aku tak lagi memiliki semesta itu. Tak mudah meninggalkannya, tapi saat ini aku sungguh ikhlas meninggalkannya. Tanpa penyesalan, tanpa rasa ragu. Walaupun setelahnya aku merasakan waktu adalah detik yang terasa, menetes perlahan, karna deraan itu kosong, dan tak ada yang lebih menjengahkan selain perpaduan sempurna antara kekosongan, waktu yang menetes, sakit hati dan patah hati sekaligus

Jengah Berpesta

Aku ingin bangun seperti biasa, menyesap air putih yang selalu ada di sebelah tempat tidurku kemudian, dan mencari handphone setelahnya. Aku hanya ingin menyesap hari ini dengan biasa saja, bermalas-malasan sejenak di kasur, baru kemudian mandi lalu pergi ke kampus untuk mengisi semangat menulis tugas akhir. Siangnya, setelah aku puas berbincang dengan beberapa orang di kampus yang membuatku asing, aku akan pergi, kemana saja. Bertemu kawan lama, atau hanya menghabiskan hari di dalam mall, apapun. Aku ingin menjalani hari ini dengan biasa saja, tanpa ucapan, tanpa pendar lilin diatas kue tart, dan tanpa kejutan mengarah perpeloncoan.  Aku hanya ingin menyesap hari ini dengan biasa saja. Sama halnya dengan 5 Mei, 12 Agustus, 24 Juli, dan tanggal lainnya. Aku tidak merayakan hari ini, aku tak ingin merayakan 10 Februari. Aku hanya ingin mengucap syukur dengan lirih, hanya untukku dan Tuhanku, Aku sudah jengah dengan pesta, aku terlalu lelah untuk hanya sekedar basa-basi, izi