Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Gagal Bersembunyi

Hey, apa kabarmu jauh disana? Tiba-tiba teringat cerita yang pernah kita upayakan. Pagi itu, udara dingin menusuk sampai lapisan tulangku, ku tarik selimut yang telah terbuka setengah, hanya sebagian yang masih melindungi tubuhku. Saat itulah aku mengusikmu yang tidur di sampingku, di atas kasur yang sama, di bawah selimut yang sama pula. Tak malah terbangun, dengan kesadaranmu yang masih sebagian kau malah melingkarkan lenganmu ke tubuhku, memeluk dengan erat. Aku hanya tersenyum. Pagi itu aku tak lagi membutuhkan selimut, cukup pelukmu. Ku pikir aku berhasil melupakanmu. Berani-beraninya kenangan itu datang tersenyum. “Mas, bangun. Udah pagi, aku harus masuk kelas” tak malah mengalihkan tanganmu, kau makin mengeratkan pelukanmu, dan membenamkan wajahmu di samping kepalaku. “Mas, gimana bisa bangun kalo kamu gini?” ucapku kemudian, bernada kesal. “Buatin kopi dulu Mi, aku mau bangun kalo ada kopi” ah, lelaki manja ini. Pagi itu berakhir dengan aku yang beranjak membua

1 Desember yang Dirayakan

1 Desember Saya tidak merayakan hari ini, bahkan saya berkabung untuk hari ini. Hari dimana banyak orang sedang merayakan kerja keras bertajuk kesetaraan dan kemanusiaan. Bukan karena saya tak lagi menghargai perjuangan, tapi saya lelah berpesta akan keberhasilan kecil, oh, atau boleh saya sebut dengan seolah keberhasilan kecil? Saya   lelah merayakannya. Saya ingin perjuangan panjang ini dimaknai dengan nyata oleh banyak kepala. Saat itulah saya ingin merayakannya. Hari ini saya sedang berkabung, berkabung atas rasa memanusiakan manusia yang seolah mati, kita seolah tak menganggap beberapa gelintir golongan ini manusia, mereka kita anggap korban, mereka kita anggap sasaran yang akan kita bangkitkan. Mengapa tak pandang saja semuanya manusia yang akan bersama kita untuk berjuang. Bukan sasaran perjuangan. Hari ini saya pun berkabung karena hati banyak manusia yang membeku, hanya menjalani hidup tanpa menggunakan logika, berfikir income, tak lagi berfikir dengan hati.

Siang, di Dalam Perjalanan

Di dalam bus antar kota yang membawaku hari ini, dengan handsfree yang menyumbat telingaku dengan lagu mendayu dan sebuah buku berkisah syahdu. Diluar terlihat terik matahari yang melelehkan. Aku duduk bersama perempuan muda yang sama sibuknya mendengarkan musik, usianya mungkin hampir sama denganku. Ia mengenakan busana modis dengan hijab yang ditata dengan apik, begitu cantik. Di seberang tempat duduk kami terlihat seorang lelaki sedang mencoba mengacuhkan sekitar dengan mencoba tidur, sang kondektur lalu lalang di tengah koridor bus yang sempit untuk menagih karcis, sepertinya ini sudah kali kelima ia berlalu. Aku kembali mencoba masuk dalam pesona majic salah satu pengarang favoritku, tapi sayangnya tidak berhasil. Kata-kata itu hanya melintas sekelebat lalu hilang tanpa sedikitpun mengurai makna. Akhirnya ku tutup lembaran itu dan aku hanya menatap keluar jendela. Jalanan yang dilewati riuh oleh suasana pasar yang masih ramai walaupun teriknya mentari membuat ubun-ubun s

Membicarakan Senja

“Sudah, mari kita bicarakan soal senja.” “Senja sudah lama pergi, untuk apa dibicarakan? Mengapa tak kita bicarakan saja soal malam?”   “tapi aku hanya mau berceloteh tentang senja” Ternyata kita memang berbeda, kau mencintai malam, sedang aku mencintai senja. Kalau kau mengartikan senja adalah saat diamana matahari dipeluk malam, bagiku senja adalah segalanya. Bagiku, senja adalah ia yang akan memelukku saat aku terlewat kelelahan menghadapi dunia, yang hanya dengan aroma tubuhnya saja dapat membuatku tersenyum sejenak. Bagiku senja adalah ia yang akan selalu membawakanku secangkir harapan, mengingatkanku untuk bermimpi, dan membangunkanku untuk berlari. Senjaku adalah ia yang kelak akan menawarkanku untuk berbagi masa depan, yang kelak akan ku lengkapi kekurangannya dan kusyukuri kelebihannya. Senja yang akan aku kecup tangannya dikala pagi dan aku peluk saat senja benar-benar menyapa. Senjaku adalah kamu yang namanya akan bersanding bersamaku di sebuah akta, yan

Mari Menari

Rintiknya terus datang tanpa jeda, sejuknya kian menusuk pada raga. Dan gaung jatuhnya makin menggema di telinga. Ini hujan pertamaku, setelah musim kemarau yang terlalu lama menghanguskan. Aku memilih kata menghanguskan bukan hiperbola semata, tapi karena memang begitulah adanya.    Aku sedang berjalan di tepian kota saat rintiknya datang tak terduga, tanpa payung, tanpa jas hujan, hanya selembar baju yang melekat. Matahari tlah lama pamit saat airnya tumpah ruah tanpa jeda, membuat dinginnya merambat teramat cepat. Sayangnya aku tak berniat berteduh, apalagi mengeluh. Ini rintik yang aku rindukan hadirnya, bahkan rinduku sama besarnya dengan rindu milik linden yang daunnya tlah jatuh berguguran, menyisakan hanya beberapa helai kuning dipangkal. Diujung bangunan megah, seorang bapak tua sibuk meneriakiku “Mbak, hujan deras, sini berteduh” ucapnya tanpa beranjak dari tempatnya, dan aku hanya menjawabnya dengan senyuman untuk kemudian kembali melangkah. Aku bukan hanya bas

(apalah) Arti Sebuah Nama

  “Apalah arti sebuah nama” begitu ungkapan salah satu sastrawan ternama sepanjang masa. Bagi sebaagian orang, arti sebuah nama memang tidak berarti apapun, sayangnya bagi sebagian lainnya arti nama bahkan segalanya. Lalu, bagaimana arti sebuah nama bagiku? Mari ijinkan aku menceritakannya. Dulunya bagiku arti satu nama seseorang tak terlalu penting. Tetapi semakin aku bertambah usia dan belajar tentang banyak hal, arti atau makna dari sesuatu jadi sangatlah penting. Nama seorang anak, aku yakini adalah doa dari orang tuanya. Nama itulah yang akan melekat selamanya hingga ia tak lagi bernyawa, yang kemudian akan berpengaruh pada bagaimana ia menjalani hidupnya. Aku menemukan seorang yang bernama “Atisha” yang artinya kedamaian.  Jauh sebelum aku tau makna dari namanya, aku adalah pengagumnya, bukan karena apapun, tapi karena saat aku melihat wajahnya aku menukan keteduhan, hanya damai yang merambat. Aku bahkan mengoleksi foto Atisha hanya untuk berlama-lama memandangi

Bercanda Bersama Semesta

Selamat malam hay pemilik pagi. Aku ingin bercerita tentang guyonan semesta. Okay. Mungkin kamu menyebutnya takdir, banyak sebutannya. Tapi aku lebih suka menamainya semesta.  Disaat banyak orang meragukan apa yang akan dilaluinya di masa depan, aku malah menjalaninya hanya dengan berjalan saja. Tidak mengalir, karna bagiku mengalir akan membuat ku jatuh ke bawah. Iya. Berjalan saja sesuai apa yg aku mau. Hari ini ya hari ini. Besok? Selama ngga menyimpang dari mimpiku sih boleh aja. Dengan cara menjalani hidupku yang seperti ini, jujur saja, perencanaan kadang terlupakan. Akhirnya hidupku seperti berada di roda keberuntungan. Tidak ada yang pasti. Itulah kenapa akhirnya aku bersahabat dengan semesta.  Disaat aku ketinggalan pesawat. Aku bahkan sampai d konter cek in bandara tepat saat seharusnya pesawatku take off. Dan akhirnya petugas menyuruhku membeli tiket baru. Tapi tak lama terdengar pemberitahuan bahwa pesawatku delay. Coba bayangkan, semesta ini terlalu lucu

Menara Mimpi

Bukan perkara kau siapa dan aku siapa, sungguh bukan sekedar itu. Ini tentang kita yang ternyata ditakdirkan untuk mengagumi, berlari, menyemangati, kemudian saling mengerti. Lewat secangkir kopi aku belajar menghargai pendapat banyak kepala. Lewat caramu berusaha aku mengerti rasanya menahan rasa sakit demi banyak kebahagiaan disekitar. Lewat celotehmu, aku sungguh belajar soal menahan egois. Kau telah banyak membuatku bermimpi. Membangun semuanya sampai aku tak tau lagi caranya mengukur tinggi menara impianku. kemudian kau menceburkanku dalam air, bukan untuk mencelakaiku, tapi untuk membangunkanku dari mimpi. Didalam riuhnya buih, aku tau kau sedang menyuruhku berlari ke puncak. Mungkin seandainya kau dapat mengatakannya kau akan berujar “hey bangun, saatnya membuat mimpimu nyata” iya, rasanya seperti saat ini, sesak, lelah, dan hamper menyerah, begitu caraku mengejar mimpi. rasanya   persis sama seperti saat kau mennceburkanku dalam air tak tergapai kaki. Aku su

Selamat Ulang Tahun Lelaki Terhebatku

Aku ingat betul saat itu aku masih berseragam putih abu-abu, pagi itu aku dengan keras kepalanya tak mau berangkat ke sekolah karena alasan sepele yang bahkan sudah terlupakan, mungkin puluhan kali atau bahkan ratusan kali kau menanggapi kelakuanku dengan sabar, sayangnya pagi itu tidak. Pagi itu aku telah membuat engkau marah dan meluapkannya. Pagi itu bukan rasa sakit di tubuhku yang bedenyut membuatku pusing, tapi hatiku lebih sakit saat engkau memukulku teramat keras. Aku sadar, aku telah berlaku berlebihan pagi itu. Tetapi sejak hari itu aku menanamkan satu hal yang sampai saat ini masih selalu aku lakukan “aku tak akan lagi membuatmu marah”. Aku sungguh berhutang teramat banyak padamu, kau mengajarkanku mandiri, kau buat aku kuat menahan kerasnya dunia karena setiap saat aku melihat engkau melakukannya di hadapanku. Engkau yang selalu menanggapiku dengan tepat ditiap emosiku atau bahkan keluhanku pada banyak hal, kau yang selalu cerewet mengingatkanku akan hal kecil yang

Mereka yang Menjalani Hari dengan Menginspirasiku

Siapakah yang sangat menginspirasimu? Ini lah pertanyaan yang akan menggolongkan manusia menjadi dua golongan. Golongan yang akan menjawab dengan yakin, dan golongan yang tidak akan menjawab karna mereka tak tau jawabannya. Bagiku pribadi, ada banyak sekali orang yang menginspirasiku, diantara banyaknya manusia itu aku mempunyai empat orang yang menjadi inspirasiku, yang mengajarkanku banyak hal untuk hidup dan menjadi manusia. Ia adalah ayahku. Kalau ditanya, siapa orang yang merupakan idolamu? Jawabku adalah ayah. Beliau adalah lelaki androgin yang teramat cerdas. Ijazah terakhirnya hanya SMA, tapi apa yang tak ia tau? Aku rasa tak ada. Beliau adalah orang pertama yang mengajarkanku demokrasi dan beragama secara bebas, tak pernah sekalipun beliau memaksaku melakukan hal yang aku tak ingin, termasuk perkara bagaimana aku beragama dan mengesakan Tuhanku. Beliau bukan hanya lawan bicaraku, tapi juga guruku soal politik, social, ekon

Cukup begitu saja

Hay kamu yang peluknya selalu menyenangkan. Lama tak bertemu, ternyata aku rindu. Maafkan karna lama kita tak bertatap. Bukan karena aku tak pernah lagi mencandu pelukmu. Tapi maafkan, aku ternyata masih menghamba kecewa. Bukan untukmu apalagi pelukmu, tapi untuk masa lalu yang kita sama sama tau. Kala ku lelah rasanya aku ingin berlari menghamburmu, memelukmu dengan erat kemudian mendaratkan kecupan di pipimu yang kemudian kau balas dengan usapan hangat di kepalaku. Lalu kau menarikku di sisimu untuk kau rangkul dan begitu saja sampai kita sama sama merasa cukup. Iya. Cukup begitu saja. Cukup begitu saja.

(masih) Mencintai Rasa Sakit?

Kadang ada seorang yang benar-benar tak ingin menyentuh rasa sakit. Menghindari benar rasanya kecewa, memberangus harapan terlalu tinggi karena tak ingin mendapati harapannya tak sesuai. Tapi dilain pihak ada pula seseorang yang mencintai bersahabat dengan rasa sakit. Tidak berusaha pergi meski tau akan tersakiti atau bahkan ia sedang disakiti. Berdalil sayang kadang pula karna teramat percaya pada ucapan kosong mereka yang mereka jatuhi hati. Boleh jadi orang yang membutuhkan bukti cinta adalah mereka yang meragukan cinta, tapi terkadang cinta juga buka soal omongan mereka yang hanya bisa bicara, melambungkan hati seseorang atau bahkan beberapa orang untuk kemudian diberikan harapan yang kosong. Pernahkah kamu menemukan seseorang yang berkata “aku sayang kamu, tapi aku tidak bisa meninggal kan dia karena…. bla bla bla.” Untuk mengetahuinya, cinta dan sayang itu tak butuh tapi. Kalau kau tak percaya, coba tanyakan pada dirimu yang tulus mencintai dia. “kenapa kamu mencintainya?

The Nice Guy, Kang Ma Ru

Melindungi, tetapi kemudian dicaci. Melakukan, tetapi dianggap diam. Menyelamatkan, tetapi ditikam. Ku mau seperti ia saja, berarti tapi tak  ingin dimengerti. Cukup hanya berbuat tanpa kemudian berharap piala. Dihina, bahkan dituduh tetapi menyelesaikan semua hal. Aku mau diam saja, tak menyangkal, pun tak membela diri. Sudah, cukup hanya membungkam kata. Hanya mendengar, mengumpulkan emosi untuk kemudian diakumulasi untuk menyemangati diri. Biarlah seperti ini saja, biarlah semuanya hanya mengerti dari spekulasi, karna sudah bukan saatnya mengklarifikasi. Karna ucapan sungguh tak berarti, sekali lagi, biarlah begini. Semoga suatu saat akan terbukti, kalaupun tak terbukti, biarkan saja mereka mengamini spekulasinya sendiri. Jika kau ingin mengerti seperti apa aku sedang berdiri. Buka saja kisahnya, cerita fiksi, walaupun ceritaku tak sempurna fiksinya. Tapi kisahku nyata adanya. Kemudian biar saja ku adopsi caranya, caranya membungkam banyak kata. Hey, Kang Ma RU