Langsung ke konten utama

Sederhana Ternyata Lebih Punya Makna




Satu renunganku disaat aku menyendiri di kamar setelah aku bebas memilih bahagia.

Siapapun boleh mencela atau bebas berkomentar. Tenyata Negara ini masih Negara bebas. Lalu sampai disatu titik aku semangat untuk mencela diriku sendiri. Diriku yang terlalu banyak berkomentar tentang banyak hal. Terlalu banyak menilai. Seharusnya pemerintah bisa melakukan ini, seharusnya Negara bisa menjamin ini untuk masyarakatnya, seharusnya organisasi ini bisa dong melakukan ini untuk masyarakat, dan banyak seharusnya. Sampai akhirnya aku lelah berkomentar, lelah mencoba berbicara di banyak rapat yang diadakan di pemerintahan yang memang ujungnya dilakuan karena ada anggaran, tapi tujuan tidak dipikirkan dengan matang. Aku pun kemudian hanya duduk di ruang rapat tanpa banyak mengubah keadaan karena aku memang hanya orang dilingkaran luar yang kebetulan mengkoordinatori satu organisasi yang bergerak di kesehatan masyarakat, sehingga aku turut diundang.

Satu tahun lebih aku berkutat dengan banyak rapat, membahas beberapa program di pemerintahan, tapi hasilnya? Hanya angka, bukan perubahan yang bermakna. Di organisasi ini mungkin akulah yang paling getol teriak advokasi, paling semangat membahas perubahan, tapi ternyata selama setahun aku berada dilingkaran ini aku merasa aku tidak melakukan sesuatu yang punya arti yang sebenarnya. Di rapat yang terhormat itu aku tau bahwa akan ada janji perubahan, tapi sebagai masyarakat, ternyata aku tak benar merasakannya.

Akhirnya aku merefleksikan diriku kembali, apa yang harusnya aku lakukan. Yang aku cari dari kerja keras selama ini adalah impact di masyarakat, tapi ternyata, bagaimana bisa aku berteriak di nasional untuk satu isu yang sedekat nadi dengan masyarakat, ini toh tak punya imbas sedikitpun untuk nilai survey. Lalu bagian mana yang kemudian harus dibenahi? Lalu aku ingat, ternyata aku terlalu mengejar hal yang tinggi, tanpa melangkah dari tangga terendah. Terlalu banyak menuntut, berkomentar, tapi tak benar-benar bertindak untuk satu permasalahan.

Sekarang aku cukup bahagia dengan apa yang aku lakukan, aku tak lagi hadir di banyak rapat pemerintah. Aku bahkan tak lagi diundang di kegiatan nasional yang katanya membahas perubahan. Aku sudah cukup bahagia tak lagi meributkan subsidi BBM dengan tidak menggunakan premium, selalu membawa kantong untuk belanja di mini market, pergi dengan tempat minum yang terisi penuh supaya tidak pernah lagi membeli minuman kemasan, atau sekedar putar balik menggunakan motor di tempat yang seharusnya.

Toh dulu saat aku getol teriak di media social tentang isu masyarakat, mungkin hanya akan dibaca followersku yang tak seberapa, bahkan jumlah retwitnya hanya dua. Dengan aku menggunakan pertamax contohnya, sekarang orang disekitarku pun ikut menggunakannya, dengan aku membawa botol minuman, teman-temanku tak lagi harus membeli minuman kemasan.

Perbuatan sederhana, bahkan amat sederhana, tetapi apabila dilakukan setiap hari, dimulai dari diri sendiri, dan dilakukan tanpa beban, ternyata bisa membuat orang lain melakukan hal yang sama. Tanpa kita lelah mengajak bahkan memaksa.


Mungkin untuk mereka yang tau arah kerjaku dulu, mereka akan bilang “ini kan isu yang berbeda, tidak bisa dibandingkan” Jawabannya akan sangat sederhana, sesederhana kita berfikir, “besok kita sekeluarga mau makan apa?.” Bagaimana satu isu besar bisa terselesaikan dan menjadi isu pokok kalau ternyata hanya sekedar sesuap nasi saja jadi permasalahan. Bagaimana orang akan memikirkan isu yang lain kalau ternyata masalah sampah saja jadi persoalan besar disekitarnya. Di fikiranku saat ini, selesaikan dulu permasalahan yang paling dekat dengan sekitar, saat permasalahan itu terselesaikan, masyarakat pasti akan memikirkan isu atau permasalahan yang lebih rumit.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Dan Pengalaman Sakaw Aroma Karsa (Full Spoiler)

“Kalau wewangian bisa berbicara, suaraku pasti sudah habis menyapa mereka satu demi satu”  Jati Wesi (Surat-Surat Dari Grasse. Aroma Karsa – part 8) “Dari semua yang pernah kukenal, kamu orang pertama yang bisa membaui dunia seperti yang kubaui, yang bisa mencium apa yang kucium. Orang pertama yang mengerti.” – Jati Wesi (Separuh Misteri. Aroma Karsa – part 7) “Asmara tidak bisa dipahami, Cuma bisa dirasakan akibatnya” – Empu Smarakandi Beberapa bulan ini aku sedang keranjingan satu karya yang berhasil membolak balik pikiranku, yang membuat hatiku berjangkar di sana tanpa mau berpindah sejak awal kalimatnya sampai. Aroma Karsa, satu lagi karya terbaru Dee Lestari yang baru 16 Maret 2018 lalu resmi terbit di toko buku. Aroma Karsa sendiri diterbitkan dalam dua versi, buku dan digital. Secara digital, buku ini diterbitkan dalam format cerbung yang dibagi dalam 18 part setiap hari senin dan kamis mulai Januari lalu oleh Bookslife. Seperti yang terlihat pada p

#SebulanCurcol #Day12: Aku #SobatDrakor

Hari ini masuk ke tema yang lumayan receh dan ringan nih di #SebulanCurcol setelah kemarin mengharu biru ngomongin pesan buat anak kita kelak. Kalau ngomongin hobi, di CV aku cuma masukin empat padahal sebenarnya ada lima hobi yang aku selalu lakukan. 1. Dengerin musik 2. ‎Baca buku fiksi 3. ‎Nonton 4. ‎Jelajah pantai Dan yang terakhir, yang terlalu random untuk ditulis di CV adalah 5. ‎Nyampul buku Kalau dengerin musik kayanya bukan hobi lagi ya, tapi sudah masuk kebutuhan bagi aku. Disaat apapun, kondisi apapun musik adalah hal esensial buat aku. Musik itu elemen penting untuk menambah konsentrasi bagiku. Belajar, nyetir, bahkan dulu saat rapat-rapat penting dan krusial aku selalu butuh musik supaya tetap waras dan bisa konsentrasi jauh lebih lama. Oke, lain kali mungkin aku akan cerita soal musik di hidupku. Kalau poin kedua dan keempat sepertinya sudah sering masuk dicerita-cerita lainku di blog ini. Soal hobi menyampul buku pun sepertinya pernah aku baha

Senandika

Yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati. Ada banyak hal yang tandang dalam pikir. Sebagian pergi, sebagian mampir sejenak, dan sebagian lagi menetap. Mengakar dan dalam. Pernah ada yang datang mengancapkan akar, cukup kuat nan mengubah perjalanan. Dunia berubah, kenyataan berubah, dan ia pun sama berubahnya. Kemudian kemarin, rasanya baru kemarin satu lagi mampir. Terlampau indah untuk dilewatkan, tapi pun terlalu mengawang membawanya datang di pangkuan. Kemudian pertanyaan datang, apa saatnya rehat? Apa memang saatnya mengembalikannya lagi mengawang? Jalannya redup nan pincang. Hanya saja harapan masih menyala redup menantang. Apakah ini saatnya? Atau apakah boleh merayu sekali lagi? Apakah boleh mengetuk kembali ke pintu yang sama, harapan yang sama? Tapi yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati.