Langsung ke konten utama

“Saya Berhak Bahagia” Cerita tentang Kerelawanan




Pernahkah Kau menjadi pemimpin, tapi kau dikekang?

Mungkin aku salah satu korbannya. Sudah dua tahun aku memimpin satu organisasi semi independen yang punya Direktur sebagai atasan di Daerah maupun Pusat. Saat pertama kali diangkat aku baru 22 tahun. Membawahi beberapa divisi dan belasan relawan. Iya, organisasi ini adalah organisasi anak muda yang berbasis relawan. Awalnya tak ada tantangan berat yang hadir, aku dapat memimpin dengan gayaku yang mungkin disebut demokrasi. Walaupun banyak persoalan yang harus diselesaikan, dan banyak pula tantangan yang kami lawan bersama. Team ini sempurna untuk aku.

Sayangnya, kebebasan berfikir ini digadaikan dengan sejumlah uang yang memang luar biasa jumlahnya oleh pemimpin di atasku. Persoalan rumit mulai datang. Tatanan yang sudah dibangun sedikit demi sedikit luntur. Yang awalnya kami bergerak dengan hati dan semangat untuk berbagi, semuanya berganti dengan semangat untuk mencapai targetan. Menghitung banyak kepala yang kami jadikan capaian. Menghabiskan bergepok rupiah untu kegiatan yang bahkan saat aku tanyakan tujuan kegiatan tersebut kepada relawanku, mereka bergeming.

Lebih miris lagi ketika saat kutanyakan pertanyaan yang sama, mereka menjawab dengan lugas “tujuannya ya supaya work plan kita jalan mbak, supaya duitnya ngga ngendon di rekening” aku hanya bisa terpaku beberapa menit ditengah rapat. Kemudian menanyakan kembali ke diriku sendiri “apa yang sebenarnya kamu kerjakan?” idealisku mengatakan “aku bekerja untuk masyarakat” tapi ternyata kenyataan lantang berbicara “kamu bekerja untuk funding. Untuk WP yang dibawa bersama bergepok-gepok rupiah”

Dari proses panjang itu aku belajar banyak, aku belajar melawan, aku melakukan banyak pekerjaan ekstra, bukan untuk sebuah work plan tapi juga untuk membentuk system yang lebih indah. Banyak kepala yang kuajak diskusi, memasukkan pikiranku sendiri, menyulut semangat yang lama mati. Semangat untuk berbagi, semangat untuk berarti. Bukan untuk orang lain diluar sana, tapi untuk kita sediri. Organisasi ini dan masyarakat kecil dilingkaran kami. Tak terhitung berapa lama debat dengan atasan, tak terhitung helaan nafas tertahan yang terjadi, tak terhitung pula kegagalan dalam beradu argument. Aku belajar berdiri. Berdiri sendiri. Karena ternyata teamku tak mampu mengimbangi. Sungguh belaian pekerjaan mudah menghabiskan rupiah telah mengaduk-aduk tujuan awal mereka bertekad menjadi relawan.
Sampai pada puncaknya aku merasa dibantai oleh atasanku sendiri, orang yang dahulu setia membimbing. Orang yang selalu beradu argument untuk satu tujuan yang kita sama-sama paham arahnya. Akhirnya aku memutuskan hengkang. Dengan satu alasan “Saya Berhak Bahagia”

Untuk apa bertahan hanya untuk memuaskan dahaga orang lain. Untuk apa bertahan ditempat yang tak memberi banyak ruang kebebasan. Untuk apa merelakan waktu didera untuk tujuan yang tak lagi sama dengan kita.

Dan untuk semua orang yang pernah diposisi yang mungkin hampir sama, yang masih ragu-ragu untuk memutuskan, semoga ceritaku ini bisa menjadi satu alasan untuk memutuskan. Karena otak, kebebasan kita, dan kebahagiaan kita jauh lebih mahal dibanding berkarung rupiah. Terlebih untuk orang-orang yang menamakan diri mereka relawan, aktifis atau apapun itu, membangun bangsa ini bukan hanya dengan cara menggadaikan idealis.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Dan Pengalaman Sakaw Aroma Karsa (Full Spoiler)

“Kalau wewangian bisa berbicara, suaraku pasti sudah habis menyapa mereka satu demi satu”  Jati Wesi (Surat-Surat Dari Grasse. Aroma Karsa – part 8) “Dari semua yang pernah kukenal, kamu orang pertama yang bisa membaui dunia seperti yang kubaui, yang bisa mencium apa yang kucium. Orang pertama yang mengerti.” – Jati Wesi (Separuh Misteri. Aroma Karsa – part 7) “Asmara tidak bisa dipahami, Cuma bisa dirasakan akibatnya” – Empu Smarakandi Beberapa bulan ini aku sedang keranjingan satu karya yang berhasil membolak balik pikiranku, yang membuat hatiku berjangkar di sana tanpa mau berpindah sejak awal kalimatnya sampai. Aroma Karsa, satu lagi karya terbaru Dee Lestari yang baru 16 Maret 2018 lalu resmi terbit di toko buku. Aroma Karsa sendiri diterbitkan dalam dua versi, buku dan digital. Secara digital, buku ini diterbitkan dalam format cerbung yang dibagi dalam 18 part setiap hari senin dan kamis mulai Januari lalu oleh Bookslife. Seperti yang terlihat pada p

#SebulanCurcol #Day12: Aku #SobatDrakor

Hari ini masuk ke tema yang lumayan receh dan ringan nih di #SebulanCurcol setelah kemarin mengharu biru ngomongin pesan buat anak kita kelak. Kalau ngomongin hobi, di CV aku cuma masukin empat padahal sebenarnya ada lima hobi yang aku selalu lakukan. 1. Dengerin musik 2. ‎Baca buku fiksi 3. ‎Nonton 4. ‎Jelajah pantai Dan yang terakhir, yang terlalu random untuk ditulis di CV adalah 5. ‎Nyampul buku Kalau dengerin musik kayanya bukan hobi lagi ya, tapi sudah masuk kebutuhan bagi aku. Disaat apapun, kondisi apapun musik adalah hal esensial buat aku. Musik itu elemen penting untuk menambah konsentrasi bagiku. Belajar, nyetir, bahkan dulu saat rapat-rapat penting dan krusial aku selalu butuh musik supaya tetap waras dan bisa konsentrasi jauh lebih lama. Oke, lain kali mungkin aku akan cerita soal musik di hidupku. Kalau poin kedua dan keempat sepertinya sudah sering masuk dicerita-cerita lainku di blog ini. Soal hobi menyampul buku pun sepertinya pernah aku baha

Senandika

Yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati. Ada banyak hal yang tandang dalam pikir. Sebagian pergi, sebagian mampir sejenak, dan sebagian lagi menetap. Mengakar dan dalam. Pernah ada yang datang mengancapkan akar, cukup kuat nan mengubah perjalanan. Dunia berubah, kenyataan berubah, dan ia pun sama berubahnya. Kemudian kemarin, rasanya baru kemarin satu lagi mampir. Terlampau indah untuk dilewatkan, tapi pun terlalu mengawang membawanya datang di pangkuan. Kemudian pertanyaan datang, apa saatnya rehat? Apa memang saatnya mengembalikannya lagi mengawang? Jalannya redup nan pincang. Hanya saja harapan masih menyala redup menantang. Apakah ini saatnya? Atau apakah boleh merayu sekali lagi? Apakah boleh mengetuk kembali ke pintu yang sama, harapan yang sama? Tapi yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati.