Langsung ke konten utama

Ritual Ulang Tahun




Ini memang soal kebiasaan. Kebiasaan ini dimulai ketika umur kami masih 13. Kami adalah sahabat yang saling mengagumi dalam diam, sahabat yang saling mengasihi dalam doa. Bukan lewat sentuhan.

Kami duduk di sekolah dan kelas yang sama saat itu, kami mengenal bukan karena kebiasaan yang sama, bagaimana bisa aku yang tak dapat duduk tenang ini bisa bersahabat dengan dia yang jarang mengeluarkan suara, ya, ini  kekuasaan Tuhan yang berkata demikian.

        Kami jadi sepasang sahabat yang serasi karena kami saling melengkapi, dia yang selalu menjadi pendengar setiaku, sedangkan akulah orang yang selalu mengutarakan maksudnya kepada orang lain saat ia malas berkata melebihi kebiasaannya.

          Kebiasaan kami dimulai ketika pergantian umur kami yang ke 13. Setiap tanggal 10 Februari, ia akan selalu mengucapkan selamat ulang tahun, menyelipkan bingkisan kecil dalam tas sekolahku, dan yang pasti sebait doa agar aku tetap bahagia. Begitu pula setiap 7 April, aku akan melakukan hal yang sama dengannya, lengkap dengan ucapanku keras-keras di depan kelas yang membuatnya malu sengah mati karena harus meladeni semua penghuni kelas kami. Momen membahagiakan bagiku melihat mukanya yang semerah kepiting. Selain ritual ini, nyaris kami tak mempunyai momen istimewa. Tak banyak waktu yang kami habiskan bersama, tak banyak obrolan yang kami lontarkan tiap harinya. Kami hanya punya beberapa waktu saling melempar obrolan saat pulang sekolah, sebelum mobil jemputan membawa kami pulang, akan tetapi obrolan singkat itulah yang membuat aku mengerti ia, dan begitu pula ia memahami gadis tercerewet di kelasnya ini.

          Aku mengenalnya sebagai laki-laki dengan ucapan terdatar, tapi sanggup meluluhkan. Setiap apa yang ia ucapkan mengandung makna yang membuat aku terdiam, karena tak menyangka di umur kami yang masih belia, dia bisa melontarkan hal yang diluar nalarku saat itu. Di balik diamnya yang mempesona itu dia juga mempunyai mata teduh yang selalu ku pandang saat aku tertimpa masalah dan kesedihan. Aku menyebutnya mata pengampun.

          Sedangkan baginya aku adah gadis periang yang berubah pendiam di hadapannya, tempat ia menceritakan apa yang tak dapat ia ceritakan kepada orang lain.

          Sampai masa sekolah menengah kami usai, tetap tak banyak obrolan yang kami tukar, bahkan kami tak punya waktu bersama di luar waktu pulang sekolah itu. Tapi kami tetap sepasang sahabat yang saling menyayangi dalam diam. Namun kebiasaan kami di setiap ualang tahun masih tetap sama.

          Setelah ritual kami di tanggal 7 April di pergantian umurnya yang ke-16, kami harus berpisah, karena Ayahnya yang ditugaskan ke kota lain di sebrang samudra. Kami sama-sama terdiam, tak banyak kata yang sanggup kami lontarkan saat perpisahan itu, kami hanya memeluk dalam diam, ya sentuhan terlama kami. Dan kami berjanji akan terus berkomunikasi.

          Bertahun-tahun berlalu, aku masih secara rutin mendengar suaranya di telfon, ritual kamipun masih terus berlangsung, walaupun tanpa bingkisan yang biasa kami selipkan di tas sekolah masing-masing. Tapi di pergantian umurku yang ke-21 ucapan itu tak lagi ada, tak ada lagi deringan telfon dan obrolan singkat kami menukar rindu. Mungkin ia lupa. Hanya alasan itu yang berhasil membuat aku tenang. Akan tetapi saat 7 April datang di tahun itu, aku mencoba menelfonnya, mengucapkan ulang tahun. Saat itulah aku sadar, aku kehilangan sahabatku. Tak ada lagi yang mengangkat telfonku dari sebrang lautan, ia menghilang. Tanpa pamit, tanpa aba-aba.

          Pertama kalinya dalam bertahun-tahun kebersamaan kami, aku kehilangan. Beberapa tahun lalu aku kehilangan mata pengampunnya dihadapanku. Hari ini aku menyadari, sepertinya aku akan kehilangan rituan selamat ulang tahun kami.

          Tapi di hari ulang tahunnya yang ke-21 aku belajar mengerti banyak hal. Aku akhirnya mengerti artinya ia, sahabat yang tak pernah memarahiku dengan keras. Aku akhirnya mengerti apa itu kebersamaan. Aku mengerti tentang kasih sayang yang tak lekang. Aku mengerti tentang artinya kamu, sahabat kecilku. Dan hari itu, dipergantian umurmu yang ke-21 aku belajar tentang kehilangan
         

Kisah ini ditulis bersama alunan lagu Ipang – Sahabat Kecil 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Dan Pengalaman Sakaw Aroma Karsa (Full Spoiler)

“Kalau wewangian bisa berbicara, suaraku pasti sudah habis menyapa mereka satu demi satu”  Jati Wesi (Surat-Surat Dari Grasse. Aroma Karsa – part 8) “Dari semua yang pernah kukenal, kamu orang pertama yang bisa membaui dunia seperti yang kubaui, yang bisa mencium apa yang kucium. Orang pertama yang mengerti.” – Jati Wesi (Separuh Misteri. Aroma Karsa – part 7) “Asmara tidak bisa dipahami, Cuma bisa dirasakan akibatnya” – Empu Smarakandi Beberapa bulan ini aku sedang keranjingan satu karya yang berhasil membolak balik pikiranku, yang membuat hatiku berjangkar di sana tanpa mau berpindah sejak awal kalimatnya sampai. Aroma Karsa, satu lagi karya terbaru Dee Lestari yang baru 16 Maret 2018 lalu resmi terbit di toko buku. Aroma Karsa sendiri diterbitkan dalam dua versi, buku dan digital. Secara digital, buku ini diterbitkan dalam format cerbung yang dibagi dalam 18 part setiap hari senin dan kamis mulai Januari lalu oleh Bookslife. Seperti yang terlihat pada p

#SebulanCurcol #Day12: Aku #SobatDrakor

Hari ini masuk ke tema yang lumayan receh dan ringan nih di #SebulanCurcol setelah kemarin mengharu biru ngomongin pesan buat anak kita kelak. Kalau ngomongin hobi, di CV aku cuma masukin empat padahal sebenarnya ada lima hobi yang aku selalu lakukan. 1. Dengerin musik 2. ‎Baca buku fiksi 3. ‎Nonton 4. ‎Jelajah pantai Dan yang terakhir, yang terlalu random untuk ditulis di CV adalah 5. ‎Nyampul buku Kalau dengerin musik kayanya bukan hobi lagi ya, tapi sudah masuk kebutuhan bagi aku. Disaat apapun, kondisi apapun musik adalah hal esensial buat aku. Musik itu elemen penting untuk menambah konsentrasi bagiku. Belajar, nyetir, bahkan dulu saat rapat-rapat penting dan krusial aku selalu butuh musik supaya tetap waras dan bisa konsentrasi jauh lebih lama. Oke, lain kali mungkin aku akan cerita soal musik di hidupku. Kalau poin kedua dan keempat sepertinya sudah sering masuk dicerita-cerita lainku di blog ini. Soal hobi menyampul buku pun sepertinya pernah aku baha

Senandika

Yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati. Ada banyak hal yang tandang dalam pikir. Sebagian pergi, sebagian mampir sejenak, dan sebagian lagi menetap. Mengakar dan dalam. Pernah ada yang datang mengancapkan akar, cukup kuat nan mengubah perjalanan. Dunia berubah, kenyataan berubah, dan ia pun sama berubahnya. Kemudian kemarin, rasanya baru kemarin satu lagi mampir. Terlampau indah untuk dilewatkan, tapi pun terlalu mengawang membawanya datang di pangkuan. Kemudian pertanyaan datang, apa saatnya rehat? Apa memang saatnya mengembalikannya lagi mengawang? Jalannya redup nan pincang. Hanya saja harapan masih menyala redup menantang. Apakah ini saatnya? Atau apakah boleh merayu sekali lagi? Apakah boleh mengetuk kembali ke pintu yang sama, harapan yang sama? Tapi yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati.