Hari ini entah hari yang seperti apa untukku. Tapi hari ini aku rasanya lelah menangis, lelah menitikan air mata. Tetapi akhirnya air mata ini mengingatkanku akan kisah hidupku beberapa tahun terakhir.
Mungkin baru dua tahun belakangan ini aku bisa menangis.
Aku ingat, bertahun-tahun lalu, menitikan air mata adalah hal yang haram
dihidupku, dipikiranku lebih tepatnya. Aku sudah lupa awal alasan aku mau
berhenti menangis, yang pasti disaat itu diumurku yang mungkin masih belia ada
konsep aneh yang tertanam diotakku. “Kalau mau menjadi perempuan yang dihargai,
jangan pernah terlihat lemah dimata banyak orang”. Dan
akhirnya, di dalam pikiranku yang picik itu, menangis adalah hal yang terlihat
sangat lemah.
Kemudian terbentuklah aku yang keras, tak
pernah sekalipun menitikan air mata, bahkan disaat dunia keras ini menghimpit,
aku tak sekalipun menangis. Saat aku menghabiskan buku yang mengharu biru aku
bergeming menghabiskan halamannya dalam diam. Bahkan untuk satu tayangan yang
membuat sekitarku terisak, aku tetap bergeming.
Tetapi ternyata aku menemukan paradoxku
di sana, semakin aku lemah, aku akan semakin menunjukkan sisi kerasku. Seolah tak
ada yang bisa membuatku bersedih. Tapi rasanya selalu ada yang janggal ditiap
malamku. Hampir tiap malam aku tak bisa memejamkan mata. Baru saat matahari
menjelang, kantukku datang. Kemudian sahabatku dengan tidak sengajanya bertanya
saat kebetulan aku memulai obrolan di pagi buta saat aku tau ada hal yang dia
kerjakan selarut itu “kamu kenapa mulai insomnia lagi? Kamu lagi mikirin hal
berat apa?” saat itu dengan enaknya aku membalas chatnya dengan “ngga ada yang
dipikirin kok, memang lagi susah tidur aja.”
Tapi ternyata ucapan spontannya itu menjadi
bahan awal aku meneliti diriku sendiri. Ternyata di dunia psikologis ada
hal-hal yang dalam alam sadar selalu tidak kita pikirkan, lebih tepatnya kita
alihkan karena banyak factor, akan tetapi alam bawah sadar selalu punya memori
yang lebih dalam dan lebih panjang berfikir, akibatnya insomnia terjadi. Dan
karena hal yang dipikirkan alam bawah sadar selalu tak terfikirkan alam sadar,
aku kesulitan mencari apa permasalahannya.
Di masa itu pula aku adalah orang yang tertutup
luar biasa, diluar aku terlihat cerah ceria, tapi banyak permasalahan yang aku
pendam sendiri, curhat bukan hal yang wajar dihidupku. Tak banyak cerita
pribadi yang kulontar, tak banyak orang yang tau seperti apa aku sebenarnya. Di
masa itu orang sekitar tak akan pernah melihat aku bersedih, melamun dan hal
lain yang menunjukkan gejala orang sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Aku ingat, sahabatku yang jauh di sebrang pulau
ini lah orang pertama yang kutunjukkan sisi lain diriku, karena aku menyerah
menelaah hal yang membuat aku insomnia akut, dan karena insomnia ini sudah
mengganggu kehidupan sehari-hariku. Salah satu pertanggung jawaban pula baginya
yang tak sengaja melontarkan kalimat ditengah malam itu. dari analisisnya dan
analisisku sendiri yang akhirnya menjatuhkan egoku serendah-rendahnya, ternyata
selama ini aku mencetak diriku menjadi orang yang sekuat baja diluar, akan
tetapi didalam aku rapuh, amat sangat rapuh. Aku menemukan diriku yang tak
pernah menerima diriku apa adanya sampai aku menciptakan diriku sendiri yang
berkebalikan. Dan yang makin memperkeruh keadaan adalah karena aku berhenti
menangis. Karena ternyata dengan kita menangis ada beban yang ikut terangkat.
Ada pikiran jernih yang kemudian menyusup.
Tapi ternyata masih susah mengalahkan ego diri
sendiri. Walaupun aku tau dan telah berhasil meneliti diriku sendiri, hal itu
tak lantas membuat aku bisa menitikan air mata.
Aku ingat hari itu aku sedang ditimpa banyak
persoalan yang bahkan untuk berfikir apa dulu yang aku kerjakan untuk
menyelesaikannya pun aku tak sanggup. Bedanya, hari itu aku sudah mengenal
ekspresi bersedih, dan mengenal caranya melamun. Saat itu caraku menenangkan
diri adalah dengan cara berbicara dengan orang yang aku anggap nyaman. Hanya
berbicara apapun. Kebetulan orang yang selalu jadi pelampiasanku untuk
menenangkan diri adalah sahabat lelakiku yang memang sekantor. Dihari itu saat
kami sama-sama bersiap pulang, dengan tiba-tiba dia memelukku, hal yang tak
pernah ia lakukan. Kemudian ia berbisik kepadaku “aku tau nangis itu ngga
nyelesein masalah, tapi paling ngga setelah kamu nangis, kamu bisa berfikir
jernih” aku tak tau mengapa ia sampai berkata demikian, mungkin dia bisa membaca pikiranku, mungkin. Dan hari itu aku tetap tidak bisa menitikan air
mata. Sampai saat malam, aku memaksanya menelfonku hanya untuk mendengar
suaranya, karena aku tak berhasil menenangkan diri, dan diakhir telfonnya aku
ingat sekali apa yang sahabatku ini katakan, “kalau kamu ngga kuat ngadepin
sesuatu, nangis aja, kamu ngga keliatan lemah kok” dan setelah ia tutup
telfonnya itu saat dimana aku berhasil menitikan air mata, tersedu berjam-jam
tanpa henti setelah beberapa tahun aku berhenti menangis. Ternyata memang
benar, masalahku tak terselesaikan dengan aku menangis, tapi setelahnya aku bisa
berfikir dengan lebih jernih untuk mengurai permasalahanku.
Sampai sekarang aku sudah tak pernah lagi
melakukan aksi berhenti menangis, proses panjang ini akhirnya merekonstruksi
pikiranku tentang bagaimana menilai dan menjalankan hidup, karena bahkan orang
yang terlihat lemah sekalipun, tetap ternilai kuat oleh orang sekitarnya.
Bahkan penilaian lemah dan kuat sebenarnya murni ketidakmampuan kita
mendefinisi keadaan. Dan ternyata penilaian itu murni bentukan sekitar yang
kemudian banyak perubahan, mengikuti budaya dan banyak hal.
Komentar
Posting Komentar