Langsung ke konten utama

Pelajaran Dibalik Aku Berhenti Menangis





Hari ini entah hari yang seperti apa untukku. Tapi hari ini aku rasanya lelah menangis, lelah menitikan air mata. Tetapi akhirnya air mata ini mengingatkanku akan kisah hidupku beberapa tahun terakhir.

Mungkin baru dua tahun belakangan ini aku bisa menangis. Aku ingat, bertahun-tahun lalu, menitikan air mata adalah hal yang haram dihidupku, dipikiranku lebih tepatnya. Aku sudah lupa awal alasan aku mau berhenti menangis, yang pasti disaat itu diumurku yang mungkin masih belia ada konsep aneh yang tertanam diotakku. “Kalau mau menjadi perempuan yang dihargai, jangan pernah terlihat lemah dimata banyak orang”. Dan akhirnya, di dalam pikiranku yang picik itu, menangis adalah hal yang terlihat sangat lemah.

Kemudian terbentuklah aku yang keras, tak pernah sekalipun menitikan air mata, bahkan disaat dunia keras ini menghimpit, aku tak sekalipun menangis. Saat aku menghabiskan buku yang mengharu biru aku bergeming menghabiskan halamannya dalam diam. Bahkan untuk satu tayangan yang membuat sekitarku terisak, aku tetap bergeming.

Tetapi ternyata aku menemukan paradoxku di sana, semakin aku lemah, aku akan semakin menunjukkan sisi kerasku. Seolah tak ada yang bisa membuatku bersedih. Tapi rasanya selalu ada yang janggal ditiap malamku. Hampir tiap malam aku tak bisa memejamkan mata. Baru saat matahari menjelang, kantukku datang. Kemudian sahabatku dengan tidak sengajanya bertanya saat kebetulan aku memulai obrolan di pagi buta saat aku tau ada hal yang dia kerjakan selarut itu “kamu kenapa mulai insomnia lagi? Kamu lagi mikirin hal berat apa?” saat itu dengan enaknya aku membalas chatnya dengan “ngga ada yang dipikirin kok, memang lagi susah tidur aja.”

Tapi ternyata ucapan spontannya itu menjadi bahan awal aku meneliti diriku sendiri. Ternyata di dunia psikologis ada hal-hal yang dalam alam sadar selalu tidak kita pikirkan, lebih tepatnya kita alihkan karena banyak factor, akan tetapi alam bawah sadar selalu punya memori yang lebih dalam dan lebih panjang berfikir, akibatnya insomnia terjadi. Dan karena hal yang dipikirkan alam bawah sadar selalu tak terfikirkan alam sadar, aku kesulitan mencari apa permasalahannya.

Di masa itu pula aku adalah orang yang tertutup luar biasa, diluar aku terlihat cerah ceria, tapi banyak permasalahan yang aku pendam sendiri, curhat bukan hal yang wajar dihidupku. Tak banyak cerita pribadi yang kulontar, tak banyak orang yang tau seperti apa aku sebenarnya. Di masa itu orang sekitar tak akan pernah melihat aku bersedih, melamun dan hal lain yang menunjukkan gejala orang sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Aku ingat, sahabatku yang jauh di sebrang pulau ini lah orang pertama yang kutunjukkan sisi lain diriku, karena aku menyerah menelaah hal yang membuat aku insomnia akut, dan karena insomnia ini sudah mengganggu kehidupan sehari-hariku. Salah satu pertanggung jawaban pula baginya yang tak sengaja melontarkan kalimat ditengah malam itu. dari analisisnya dan analisisku sendiri yang akhirnya menjatuhkan egoku serendah-rendahnya, ternyata selama ini aku mencetak diriku menjadi orang yang sekuat baja diluar, akan tetapi didalam aku rapuh, amat sangat rapuh. Aku menemukan diriku yang tak pernah menerima diriku apa adanya sampai aku menciptakan diriku sendiri yang berkebalikan. Dan yang makin memperkeruh keadaan adalah karena aku berhenti menangis. Karena ternyata dengan kita menangis ada beban yang ikut terangkat. Ada pikiran jernih yang kemudian menyusup.

Tapi ternyata masih susah mengalahkan ego diri sendiri. Walaupun aku tau dan telah berhasil meneliti diriku sendiri, hal itu tak lantas membuat aku bisa menitikan air mata.

Aku ingat hari itu aku sedang ditimpa banyak persoalan yang bahkan untuk berfikir apa dulu yang aku kerjakan untuk menyelesaikannya pun aku tak sanggup. Bedanya, hari itu aku sudah mengenal ekspresi bersedih, dan mengenal caranya melamun. Saat itu caraku menenangkan diri adalah dengan cara berbicara dengan orang yang aku anggap nyaman. Hanya berbicara apapun. Kebetulan orang yang selalu jadi pelampiasanku untuk menenangkan diri adalah sahabat lelakiku yang memang sekantor. Dihari itu saat kami sama-sama bersiap pulang, dengan tiba-tiba dia memelukku, hal yang tak pernah ia lakukan. Kemudian ia berbisik kepadaku “aku tau nangis itu ngga nyelesein masalah, tapi paling ngga setelah kamu nangis, kamu bisa berfikir jernih” aku tak tau mengapa ia sampai berkata demikian, mungkin dia bisa membaca pikiranku, mungkin. Dan hari itu aku tetap tidak bisa menitikan air mata. Sampai saat malam, aku memaksanya menelfonku hanya untuk mendengar suaranya, karena aku tak berhasil menenangkan diri, dan diakhir telfonnya aku ingat sekali apa yang sahabatku ini katakan, “kalau kamu ngga kuat ngadepin sesuatu, nangis aja, kamu ngga keliatan lemah kok” dan setelah ia tutup telfonnya itu saat dimana aku berhasil menitikan air mata, tersedu berjam-jam tanpa henti setelah beberapa tahun aku berhenti menangis. Ternyata memang benar, masalahku tak terselesaikan dengan aku menangis, tapi setelahnya aku bisa berfikir dengan lebih jernih untuk mengurai permasalahanku.


Sampai sekarang aku sudah tak pernah lagi melakukan aksi berhenti menangis, proses panjang ini akhirnya merekonstruksi pikiranku tentang bagaimana menilai dan menjalankan hidup, karena bahkan orang yang terlihat lemah sekalipun, tetap ternilai kuat oleh orang sekitarnya. Bahkan penilaian lemah dan kuat sebenarnya murni ketidakmampuan kita mendefinisi keadaan. Dan ternyata penilaian itu murni bentukan sekitar yang kemudian banyak perubahan, mengikuti budaya dan banyak hal. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Dan Pengalaman Sakaw Aroma Karsa (Full Spoiler)

“Kalau wewangian bisa berbicara, suaraku pasti sudah habis menyapa mereka satu demi satu”  Jati Wesi (Surat-Surat Dari Grasse. Aroma Karsa – part 8) “Dari semua yang pernah kukenal, kamu orang pertama yang bisa membaui dunia seperti yang kubaui, yang bisa mencium apa yang kucium. Orang pertama yang mengerti.” – Jati Wesi (Separuh Misteri. Aroma Karsa – part 7) “Asmara tidak bisa dipahami, Cuma bisa dirasakan akibatnya” – Empu Smarakandi Beberapa bulan ini aku sedang keranjingan satu karya yang berhasil membolak balik pikiranku, yang membuat hatiku berjangkar di sana tanpa mau berpindah sejak awal kalimatnya sampai. Aroma Karsa, satu lagi karya terbaru Dee Lestari yang baru 16 Maret 2018 lalu resmi terbit di toko buku. Aroma Karsa sendiri diterbitkan dalam dua versi, buku dan digital. Secara digital, buku ini diterbitkan dalam format cerbung yang dibagi dalam 18 part setiap hari senin dan kamis mulai Januari lalu oleh Bookslife. Seperti yang terlihat pada p

#SebulanCurcol #Day12: Aku #SobatDrakor

Hari ini masuk ke tema yang lumayan receh dan ringan nih di #SebulanCurcol setelah kemarin mengharu biru ngomongin pesan buat anak kita kelak. Kalau ngomongin hobi, di CV aku cuma masukin empat padahal sebenarnya ada lima hobi yang aku selalu lakukan. 1. Dengerin musik 2. ‎Baca buku fiksi 3. ‎Nonton 4. ‎Jelajah pantai Dan yang terakhir, yang terlalu random untuk ditulis di CV adalah 5. ‎Nyampul buku Kalau dengerin musik kayanya bukan hobi lagi ya, tapi sudah masuk kebutuhan bagi aku. Disaat apapun, kondisi apapun musik adalah hal esensial buat aku. Musik itu elemen penting untuk menambah konsentrasi bagiku. Belajar, nyetir, bahkan dulu saat rapat-rapat penting dan krusial aku selalu butuh musik supaya tetap waras dan bisa konsentrasi jauh lebih lama. Oke, lain kali mungkin aku akan cerita soal musik di hidupku. Kalau poin kedua dan keempat sepertinya sudah sering masuk dicerita-cerita lainku di blog ini. Soal hobi menyampul buku pun sepertinya pernah aku baha

Senandika

Yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati. Ada banyak hal yang tandang dalam pikir. Sebagian pergi, sebagian mampir sejenak, dan sebagian lagi menetap. Mengakar dan dalam. Pernah ada yang datang mengancapkan akar, cukup kuat nan mengubah perjalanan. Dunia berubah, kenyataan berubah, dan ia pun sama berubahnya. Kemudian kemarin, rasanya baru kemarin satu lagi mampir. Terlampau indah untuk dilewatkan, tapi pun terlalu mengawang membawanya datang di pangkuan. Kemudian pertanyaan datang, apa saatnya rehat? Apa memang saatnya mengembalikannya lagi mengawang? Jalannya redup nan pincang. Hanya saja harapan masih menyala redup menantang. Apakah ini saatnya? Atau apakah boleh merayu sekali lagi? Apakah boleh mengetuk kembali ke pintu yang sama, harapan yang sama? Tapi yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati.