Hey, apa kabarmu jauh disana? Tiba-tiba teringat cerita yang pernah kita
upayakan.
Pagi itu, udara dingin menusuk sampai lapisan tulangku,
ku tarik selimut yang telah terbuka setengah, hanya sebagian yang masih
melindungi tubuhku. Saat itulah aku mengusikmu yang tidur di sampingku, di atas
kasur yang sama, di bawah selimut yang sama pula. Tak malah terbangun, dengan
kesadaranmu yang masih sebagian kau malah melingkarkan lenganmu ke tubuhku,
memeluk dengan erat. Aku hanya tersenyum. Pagi itu aku tak lagi membutuhkan
selimut, cukup pelukmu.
Ku pikir aku berhasil melupakanmu. Berani-beraninya kenangan itu datang
tersenyum.
“Mas, bangun. Udah pagi, aku harus masuk kelas” tak malah
mengalihkan tanganmu, kau makin mengeratkan pelukanmu, dan membenamkan wajahmu
di samping kepalaku. “Mas, gimana bisa bangun kalo kamu gini?” ucapku kemudian,
bernada kesal. “Buatin kopi dulu Mi, aku mau bangun kalo ada kopi” ah, lelaki
manja ini. Pagi itu berakhir dengan aku yang beranjak membuatkannya kopi. Walaupun
setelah menyesapnya sedikit, dia menarikku untuk kembali bergelung di atas
kasur. Pagi itu aku bahagia, aku yakin dia pun demikian.
Meskipun jalan kita tak bertemu, tapi tetap indah bagiku, semoga juga bagimu.
Setelah banyak malam aku lewatkan dengan berusaha
mengihlaskanmu, akhirnya aku benar-benar ikhlas melepaskanmu. Tak ada lagi pelukan,
tak ada lagi hadiah pantai untukku. Tapi aku bersyukur.
Kau tau aku merelakanmu, aku Cuma rindu, aku Cuma rindu. Tak kan mencoba
tuk merebutmu, aku Cuma rindu, itu saja.
Baru-baru ini aku bermimpi, semobil berdua dengamu. Kau tersenyum,
aku pun demikian. Hari itu kau tak menyulut rokokmu di dalam mobil, karena kamu
tau, aku tak lagi tahan dengan asapnya. Saat mobil berhenti karena rambu lalu
lintas yang mendadak berubah merah, kamu mengecup pipiku sekilas sambil
tersenyum. "Jangan marah lagi ya" entah untuk apa ungkapan itu. Tapi aroma tubuhmu, tatapanmu, masih sama seperti dua tahun lalu di pagi
hari saat kau memelukku erat meminta kopi pagimu.
Gagal, kali ini gagal bersembunyi dibalik kata-kata bijak yang selalu mampu
membuat aku terlihat tangguh, padahal hancur lebur harapan yang terlanjur ku
percaya.
Ini sungguh hanya mimpi yang datang beberapa bulan saat aku
telah merelakanmu. Entah, mengapa aku ingat semua detailnya. Mungkin karena aku
rindu, atau mungkin memang harus begitu.
Dan senyuman itu, masih selalu menenangkanku.
Meskipun jalan kita tak bertemu, tapi tetap indah bagiku, semoga juga
bagimu.
Iya, mungkin aku Cuma rindu, rindu memiliki seseorang
yang suaranya menjadi obat penenang terhebat, yang peluknya lebih menghangatkan
dibanding selimut tebalku, yang aroma tubuhnya membuat jantung berdegup tak
karuan.
Kau tau aku merelakanmu, aku Cuma rindu, aku Cuma rindu.
Aku sudah pensiun menjadi pemujamu, sudah cukup. Sungguh aku
merelakanmu, aku merelakan mimpiku bersanding selamanya di sisimu.
Tak kan mencoba tuk merebutmu, aku Cuma rindu, itu saja, itu saja.
Terima kasih The Rain untuk pernah menciptakan dan menyanyikan lagu ini.
Komentar
Posting Komentar