Di dalam bus antar kota yang membawaku hari ini, dengan handsfree yang menyumbat telingaku
dengan lagu mendayu dan sebuah buku berkisah syahdu. Diluar terlihat terik
matahari yang melelehkan. Aku duduk bersama perempuan muda yang sama sibuknya
mendengarkan musik, usianya mungkin hampir sama denganku. Ia mengenakan busana
modis dengan hijab yang ditata dengan apik, begitu cantik. Di seberang tempat
duduk kami terlihat seorang lelaki sedang mencoba mengacuhkan sekitar dengan
mencoba tidur, sang kondektur lalu lalang di tengah koridor bus yang sempit
untuk menagih karcis, sepertinya ini sudah kali kelima ia berlalu.
Aku kembali mencoba masuk dalam pesona majic salah satu
pengarang favoritku, tapi sayangnya tidak berhasil. Kata-kata itu hanya
melintas sekelebat lalu hilang tanpa sedikitpun mengurai makna. Akhirnya ku
tutup lembaran itu dan aku hanya menatap keluar jendela. Jalanan yang dilewati
riuh oleh suasana pasar yang masih ramai walaupun teriknya mentari membuat
ubun-ubun serasa terbakar. Yah, walaupun aku ada di dalam bus ber AC, kaca
disebelahku tak bisa menipu. Karena lalu lalang pembeli dan penjual yang
memakan seperempat bahu jalan, mengakibatkan laju bus melambat, membuat aku
dapat dengan leluasa memperhatikan mereka yang sedang diburu urusan
masing-masing, ada seorang ibu tua yang sedang menawar harga ikan kepada
penjual muda yang terlihat galak. Ada pula seorang bapak tua yang sedang duduk
di becaknya di pojok pasar, segalanya terlihat pucat, hanya handuk kecil yang
dikalungkannya saja yang terlihat mentereng, kuning menyala. Raut wajahnya
tampak lelah, matanya mengawang, mungkin ia membayangkan keluarganya di rumah. Tak
jauh dari sana terlihat sepasang muda mudi dengan senyum mengembang, aura cinta
terlihat meletup-letup, membara, mungkin sepanas sengatan matahari siang ini.
Kemudian aku kembali mengingat kisahku, kisah panjang bersama
seseorang yang mungkin apabila saat itu dilihat dengan kaca mata orang ketiga
akan sama seperti pemandangan yang aku liat siang ini, muda mudi yang dibakar
rasa cinta.
Dia, lelaki baik yang setiap hari jumat selalu
membawakanku bekal yang dimasaknya sendiri, kadang ayam goreng dengan tumisan
cap cay tanpa wortel, karena ia tau aku benci wortel. Kadang hanya mie goreng
dengan sawi, itu saat ia terlambat bangun paginya. Lelaki pertama yang saat
menjemputku untuk pergi nonton akan memaksa masuk untuk memberi salam kepada
ibu “Bu, putrinya saya pinjam sebentar, nanti sebelum larut saya kembalikan”
dan aku salah tingkah karenanya. Dia jadi satu-satunya lelakiku yang selalu
ditanyakan Ibu kabarnya. Apa dia baik saja menjalani hari.
Aku ingat, kala itu, aku dan dia sedang mengikuti acara
out door bersama banyak kawan kami, hari itu hujan dengan ganasnya mengguyur
kami, sampai seluruh tenda beserta isinya basah. Ia sibuk membereskan banyak
barang, begitu pula aku, tapi kami di tenda yang teramat berjauhan, hujan masih
mengguyur, tak ada yang bisa aku dan teman-teman lakukan selain duduk berteduh
di dalam tenda dengan air yang menggenang. Bajuku? Basah kuyub. Mungkin karena
lelah membuat api unggun semalaman, aku bisa dengan ajaibnya tertidur di
kondisi tersebut.
Aku masih setengah tersadar saat itu, saat aku dengar ia
bergumam lirih “Adek ya, baju basah, tidur ngga pake jaket” lalu aku dengar
dengan jelas, ia melepas jaketnya untuk diselimutkan padaku, dan mengelus
puncak kepalaku dengan halus sebelum ia berlalu. Hari itu aku tau, begini
rasanya disayang seseorang dengan tulus.
Sayangnya, lima bulan setelah kejadian itu aku harus
dengan kuat berkata pada diriku sendiri untuk berhenti berjuang. Bukan, bukan
karena kami sudah tak saling cinta, tapi karena memang harus berhenti bersama
dengan rasa yang sama. Berhenti melakukan segalanya tanpa ia. Aku harus kembali
mandiri untuk melakukan segalanya sendiri, termasuk untuk berusaha mematikan
rasa.
Yang aku tau dari proses move on adalah memang
benar-benar berpindah, dari semua rasa cinta menjadi hanya sayang yang
dialamatkan pada seseorang. Bukan untuk saling mengakhiri lalu membenci, tapi
menggeser semua rasa yang dimiliki untuk dapat tersenyum dengan ikhlas di
depannya. Tanpa beban, apalagi rasa menyesal pernah mengenalnya. Bagiku, yang paling susah bukan mematikan
nyala cintaku, tapi mengubah kebiasaanku dengannya. Harus dengan ikhlas
menghapus kembali ucapan selamat pagi yang sudah diketik dengan manis di tiap
mata terbuka, menahan godaan memencet nomor handphonenya saat berita tentang
film terbaru muncul, dan aku harus membiasakan diri makan siang sendirian,
karena berbulan-bulan aku menghabiskan jam istirahat makan siangku dengannya. Berat?
Tolong jangan tanyakan ini. Sampai saat ini, delapan bulan telah berlalu, dan
aku masih saja berpidah kota hanya untuk mencoba memgikhlaskan segalanya.
Iya, aku mencoba mengikhlaskan dengan melakukan banyak
perjalanan, mengulang memori kami di banyak kilometer yang telah kami habiskan.
Dengan melakukan perjalanan, aku sedang mengingatkan kembali diriku, bukan ia
yang ada di samping, saatnya aku berhenti berharap, mengikhlaskan yang pernah
terjadi, dan berjalan kembali sebagai aku yang baru. Tanpa kamu, tanpa selamat
pagi dan selamat malam pembuka dan penutup hari, tanpa peringatan “jangan lupa
bawa jaket” setiap pagi, dan hari jumat tanpa bekal makanan buatannya.
Komentar
Posting Komentar