Langsung ke konten utama

Siang, di Dalam Perjalanan





Di dalam bus antar kota yang membawaku hari ini, dengan handsfree yang menyumbat telingaku dengan lagu mendayu dan sebuah buku berkisah syahdu. Diluar terlihat terik matahari yang melelehkan. Aku duduk bersama perempuan muda yang sama sibuknya mendengarkan musik, usianya mungkin hampir sama denganku. Ia mengenakan busana modis dengan hijab yang ditata dengan apik, begitu cantik. Di seberang tempat duduk kami terlihat seorang lelaki sedang mencoba mengacuhkan sekitar dengan mencoba tidur, sang kondektur lalu lalang di tengah koridor bus yang sempit untuk menagih karcis, sepertinya ini sudah kali kelima ia berlalu.

Aku kembali mencoba masuk dalam pesona majic salah satu pengarang favoritku, tapi sayangnya tidak berhasil. Kata-kata itu hanya melintas sekelebat lalu hilang tanpa sedikitpun mengurai makna. Akhirnya ku tutup lembaran itu dan aku hanya menatap keluar jendela. Jalanan yang dilewati riuh oleh suasana pasar yang masih ramai walaupun teriknya mentari membuat ubun-ubun serasa terbakar. Yah, walaupun aku ada di dalam bus ber AC, kaca disebelahku tak bisa menipu. Karena lalu lalang pembeli dan penjual yang memakan seperempat bahu jalan, mengakibatkan laju bus melambat, membuat aku dapat dengan leluasa memperhatikan mereka yang sedang diburu urusan masing-masing, ada seorang ibu tua yang sedang menawar harga ikan kepada penjual muda yang terlihat galak. Ada pula seorang bapak tua yang sedang duduk di becaknya di pojok pasar, segalanya terlihat pucat, hanya handuk kecil yang dikalungkannya saja yang terlihat mentereng, kuning menyala. Raut wajahnya tampak lelah, matanya mengawang, mungkin ia membayangkan keluarganya di rumah. Tak jauh dari sana terlihat sepasang muda mudi dengan senyum mengembang, aura cinta terlihat meletup-letup, membara, mungkin sepanas sengatan matahari siang ini.

Kemudian aku kembali mengingat kisahku, kisah panjang bersama seseorang yang mungkin apabila saat itu dilihat dengan kaca mata orang ketiga akan sama seperti pemandangan yang aku liat siang ini, muda mudi yang dibakar rasa cinta.

Dia, lelaki baik yang setiap hari jumat selalu membawakanku bekal yang dimasaknya sendiri, kadang ayam goreng dengan tumisan cap cay tanpa wortel, karena ia tau aku benci wortel. Kadang hanya mie goreng dengan sawi, itu saat ia terlambat bangun paginya. Lelaki pertama yang saat menjemputku untuk pergi nonton akan memaksa masuk untuk memberi salam kepada ibu “Bu, putrinya saya pinjam sebentar, nanti sebelum larut saya kembalikan” dan aku salah tingkah karenanya. Dia jadi satu-satunya lelakiku yang selalu ditanyakan Ibu kabarnya. Apa dia baik saja menjalani hari.

Aku ingat, kala itu, aku dan dia sedang mengikuti acara out door bersama banyak kawan kami, hari itu hujan dengan ganasnya mengguyur kami, sampai seluruh tenda beserta isinya basah. Ia sibuk membereskan banyak barang, begitu pula aku, tapi kami di tenda yang teramat berjauhan, hujan masih mengguyur, tak ada yang bisa aku dan teman-teman lakukan selain duduk berteduh di dalam tenda dengan air yang menggenang. Bajuku? Basah kuyub. Mungkin karena lelah membuat api unggun semalaman, aku bisa dengan ajaibnya tertidur di kondisi tersebut.  

Aku masih setengah tersadar saat itu, saat aku dengar ia bergumam lirih “Adek ya, baju basah, tidur ngga pake jaket” lalu aku dengar dengan jelas, ia melepas jaketnya untuk diselimutkan padaku, dan mengelus puncak kepalaku dengan halus sebelum ia berlalu. Hari itu aku tau, begini rasanya disayang seseorang dengan tulus.

Sayangnya, lima bulan setelah kejadian itu aku harus dengan kuat berkata pada diriku sendiri untuk berhenti berjuang. Bukan, bukan karena kami sudah tak saling cinta, tapi karena memang harus berhenti bersama dengan rasa yang sama. Berhenti melakukan segalanya tanpa ia. Aku harus kembali mandiri untuk melakukan segalanya sendiri, termasuk untuk berusaha mematikan rasa.  

Yang aku tau dari proses move on adalah memang benar-benar berpindah, dari semua rasa cinta menjadi hanya sayang yang dialamatkan pada seseorang. Bukan untuk saling mengakhiri lalu membenci, tapi menggeser semua rasa yang dimiliki untuk dapat tersenyum dengan ikhlas di depannya. Tanpa beban, apalagi rasa menyesal pernah mengenalnya.  Bagiku, yang paling susah bukan mematikan nyala cintaku, tapi mengubah kebiasaanku dengannya. Harus dengan ikhlas menghapus kembali ucapan selamat pagi yang sudah diketik dengan manis di tiap mata terbuka, menahan godaan memencet nomor handphonenya saat berita tentang film terbaru muncul, dan aku harus membiasakan diri makan siang sendirian, karena berbulan-bulan aku menghabiskan jam istirahat makan siangku dengannya. Berat? Tolong jangan tanyakan ini. Sampai saat ini, delapan bulan telah berlalu, dan aku masih saja berpidah kota hanya untuk mencoba memgikhlaskan segalanya.

Iya, aku mencoba mengikhlaskan dengan melakukan banyak perjalanan, mengulang memori kami di banyak kilometer yang telah kami habiskan. Dengan melakukan perjalanan, aku sedang mengingatkan kembali diriku, bukan ia yang ada di samping, saatnya aku berhenti berharap, mengikhlaskan yang pernah terjadi, dan berjalan kembali sebagai aku yang baru. Tanpa kamu, tanpa selamat pagi dan selamat malam pembuka dan penutup hari, tanpa peringatan “jangan lupa bawa jaket” setiap pagi, dan hari jumat tanpa bekal makanan buatannya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Dan Pengalaman Sakaw Aroma Karsa (Full Spoiler)

“Kalau wewangian bisa berbicara, suaraku pasti sudah habis menyapa mereka satu demi satu”  Jati Wesi (Surat-Surat Dari Grasse. Aroma Karsa – part 8) “Dari semua yang pernah kukenal, kamu orang pertama yang bisa membaui dunia seperti yang kubaui, yang bisa mencium apa yang kucium. Orang pertama yang mengerti.” – Jati Wesi (Separuh Misteri. Aroma Karsa – part 7) “Asmara tidak bisa dipahami, Cuma bisa dirasakan akibatnya” – Empu Smarakandi Beberapa bulan ini aku sedang keranjingan satu karya yang berhasil membolak balik pikiranku, yang membuat hatiku berjangkar di sana tanpa mau berpindah sejak awal kalimatnya sampai. Aroma Karsa, satu lagi karya terbaru Dee Lestari yang baru 16 Maret 2018 lalu resmi terbit di toko buku. Aroma Karsa sendiri diterbitkan dalam dua versi, buku dan digital. Secara digital, buku ini diterbitkan dalam format cerbung yang dibagi dalam 18 part setiap hari senin dan kamis mulai Januari lalu oleh Bookslife. Seperti yang terlihat pada p

#SebulanCurcol #Day12: Aku #SobatDrakor

Hari ini masuk ke tema yang lumayan receh dan ringan nih di #SebulanCurcol setelah kemarin mengharu biru ngomongin pesan buat anak kita kelak. Kalau ngomongin hobi, di CV aku cuma masukin empat padahal sebenarnya ada lima hobi yang aku selalu lakukan. 1. Dengerin musik 2. ‎Baca buku fiksi 3. ‎Nonton 4. ‎Jelajah pantai Dan yang terakhir, yang terlalu random untuk ditulis di CV adalah 5. ‎Nyampul buku Kalau dengerin musik kayanya bukan hobi lagi ya, tapi sudah masuk kebutuhan bagi aku. Disaat apapun, kondisi apapun musik adalah hal esensial buat aku. Musik itu elemen penting untuk menambah konsentrasi bagiku. Belajar, nyetir, bahkan dulu saat rapat-rapat penting dan krusial aku selalu butuh musik supaya tetap waras dan bisa konsentrasi jauh lebih lama. Oke, lain kali mungkin aku akan cerita soal musik di hidupku. Kalau poin kedua dan keempat sepertinya sudah sering masuk dicerita-cerita lainku di blog ini. Soal hobi menyampul buku pun sepertinya pernah aku baha

Senandika

Yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati. Ada banyak hal yang tandang dalam pikir. Sebagian pergi, sebagian mampir sejenak, dan sebagian lagi menetap. Mengakar dan dalam. Pernah ada yang datang mengancapkan akar, cukup kuat nan mengubah perjalanan. Dunia berubah, kenyataan berubah, dan ia pun sama berubahnya. Kemudian kemarin, rasanya baru kemarin satu lagi mampir. Terlampau indah untuk dilewatkan, tapi pun terlalu mengawang membawanya datang di pangkuan. Kemudian pertanyaan datang, apa saatnya rehat? Apa memang saatnya mengembalikannya lagi mengawang? Jalannya redup nan pincang. Hanya saja harapan masih menyala redup menantang. Apakah ini saatnya? Atau apakah boleh merayu sekali lagi? Apakah boleh mengetuk kembali ke pintu yang sama, harapan yang sama? Tapi yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati.