Langsung ke konten utama

Mari Menari





Rintiknya terus datang tanpa jeda, sejuknya kian menusuk pada raga. Dan gaung jatuhnya makin menggema di telinga. Ini hujan pertamaku, setelah musim kemarau yang terlalu lama menghanguskan. Aku memilih kata menghanguskan bukan hiperbola semata, tapi karena memang begitulah adanya.  

Aku sedang berjalan di tepian kota saat rintiknya datang tak terduga, tanpa payung, tanpa jas hujan, hanya selembar baju yang melekat. Matahari tlah lama pamit saat airnya tumpah ruah tanpa jeda, membuat dinginnya merambat teramat cepat. Sayangnya aku tak berniat berteduh, apalagi mengeluh. Ini rintik yang aku rindukan hadirnya, bahkan rinduku sama besarnya dengan rindu milik linden yang daunnya tlah jatuh berguguran, menyisakan hanya beberapa helai kuning dipangkal.

Diujung bangunan megah, seorang bapak tua sibuk meneriakiku “Mbak, hujan deras, sini berteduh” ucapnya tanpa beranjak dari tempatnya, dan aku hanya menjawabnya dengan senyuman untuk kemudian kembali melangkah. Aku bukan hanya basah, tapi kuyup oleh air yang terus jatuh tanpa beban, hanya berserah, tanpa sedikitpun melawan gravitasi. Bajuku tlah dibabat oleh rasanya basah, sehingga dinggin cepat merambat dan membuat gigiku sedikit bergemeletuk.

Tak malah lari berteduh seperti apa yang disarankan bapak tua, aku malah merentangkan tanganku, merasakan rintiknya yang besar menyakiti tubuhku. Tapi aku tersenyum. Karena inilah yang aku tunggu, yang datangnya sungguh kusyukuri, yang basahnya membuat bukan hanya aku, tapi juga sekitarku tersenyum. Basah yang membuat pemburu rindu berbahagia karena aroma tanah basah yang menyeruak membuat mereka dapat kembali ke masa lalu, dimana saat itu hanya ada jemari yang bertaut.

Aku masih merentangkan tanganku selebarnya, menjangkau lebih banyak rintik yang jatuh, tersenyum dengan kepala yang mendongak ke atas. "Semesta, mari menari"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Dan Pengalaman Sakaw Aroma Karsa (Full Spoiler)

“Kalau wewangian bisa berbicara, suaraku pasti sudah habis menyapa mereka satu demi satu”  Jati Wesi (Surat-Surat Dari Grasse. Aroma Karsa – part 8) “Dari semua yang pernah kukenal, kamu orang pertama yang bisa membaui dunia seperti yang kubaui, yang bisa mencium apa yang kucium. Orang pertama yang mengerti.” – Jati Wesi (Separuh Misteri. Aroma Karsa – part 7) “Asmara tidak bisa dipahami, Cuma bisa dirasakan akibatnya” – Empu Smarakandi Beberapa bulan ini aku sedang keranjingan satu karya yang berhasil membolak balik pikiranku, yang membuat hatiku berjangkar di sana tanpa mau berpindah sejak awal kalimatnya sampai. Aroma Karsa, satu lagi karya terbaru Dee Lestari yang baru 16 Maret 2018 lalu resmi terbit di toko buku. Aroma Karsa sendiri diterbitkan dalam dua versi, buku dan digital. Secara digital, buku ini diterbitkan dalam format cerbung yang dibagi dalam 18 part setiap hari senin dan kamis mulai Januari lalu oleh Bookslife. Seperti yang terlihat pada p

#SebulanCurcol #Day12: Aku #SobatDrakor

Hari ini masuk ke tema yang lumayan receh dan ringan nih di #SebulanCurcol setelah kemarin mengharu biru ngomongin pesan buat anak kita kelak. Kalau ngomongin hobi, di CV aku cuma masukin empat padahal sebenarnya ada lima hobi yang aku selalu lakukan. 1. Dengerin musik 2. ‎Baca buku fiksi 3. ‎Nonton 4. ‎Jelajah pantai Dan yang terakhir, yang terlalu random untuk ditulis di CV adalah 5. ‎Nyampul buku Kalau dengerin musik kayanya bukan hobi lagi ya, tapi sudah masuk kebutuhan bagi aku. Disaat apapun, kondisi apapun musik adalah hal esensial buat aku. Musik itu elemen penting untuk menambah konsentrasi bagiku. Belajar, nyetir, bahkan dulu saat rapat-rapat penting dan krusial aku selalu butuh musik supaya tetap waras dan bisa konsentrasi jauh lebih lama. Oke, lain kali mungkin aku akan cerita soal musik di hidupku. Kalau poin kedua dan keempat sepertinya sudah sering masuk dicerita-cerita lainku di blog ini. Soal hobi menyampul buku pun sepertinya pernah aku baha

Senandika

Yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati. Ada banyak hal yang tandang dalam pikir. Sebagian pergi, sebagian mampir sejenak, dan sebagian lagi menetap. Mengakar dan dalam. Pernah ada yang datang mengancapkan akar, cukup kuat nan mengubah perjalanan. Dunia berubah, kenyataan berubah, dan ia pun sama berubahnya. Kemudian kemarin, rasanya baru kemarin satu lagi mampir. Terlampau indah untuk dilewatkan, tapi pun terlalu mengawang membawanya datang di pangkuan. Kemudian pertanyaan datang, apa saatnya rehat? Apa memang saatnya mengembalikannya lagi mengawang? Jalannya redup nan pincang. Hanya saja harapan masih menyala redup menantang. Apakah ini saatnya? Atau apakah boleh merayu sekali lagi? Apakah boleh mengetuk kembali ke pintu yang sama, harapan yang sama? Tapi yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati.