Rintiknya
terus datang tanpa jeda, sejuknya kian menusuk pada raga. Dan gaung jatuhnya
makin menggema di telinga. Ini hujan pertamaku, setelah musim kemarau yang
terlalu lama menghanguskan. Aku memilih kata menghanguskan bukan hiperbola
semata, tapi karena memang begitulah adanya.
Aku
sedang berjalan di tepian kota saat rintiknya datang tak terduga, tanpa payung,
tanpa jas hujan, hanya selembar baju yang melekat. Matahari tlah lama pamit
saat airnya tumpah ruah tanpa jeda, membuat dinginnya merambat teramat cepat.
Sayangnya aku tak berniat berteduh, apalagi mengeluh. Ini rintik yang aku
rindukan hadirnya, bahkan rinduku sama besarnya dengan rindu milik linden yang
daunnya tlah jatuh berguguran, menyisakan hanya beberapa helai kuning
dipangkal.
Diujung
bangunan megah, seorang bapak tua sibuk meneriakiku “Mbak, hujan deras, sini
berteduh” ucapnya tanpa beranjak dari tempatnya, dan aku hanya menjawabnya
dengan senyuman untuk kemudian kembali melangkah. Aku bukan hanya basah, tapi
kuyup oleh air yang terus jatuh tanpa beban, hanya berserah, tanpa sedikitpun
melawan gravitasi. Bajuku tlah dibabat oleh rasanya basah, sehingga dinggin
cepat merambat dan membuat gigiku sedikit bergemeletuk.
Tak
malah lari berteduh seperti apa yang disarankan bapak tua, aku malah merentangkan
tanganku, merasakan rintiknya yang besar menyakiti tubuhku. Tapi aku tersenyum.
Karena inilah yang aku tunggu, yang datangnya sungguh kusyukuri, yang basahnya
membuat bukan hanya aku, tapi juga sekitarku tersenyum. Basah yang membuat
pemburu rindu berbahagia karena aroma tanah basah yang menyeruak membuat mereka
dapat kembali ke masa lalu, dimana saat itu hanya ada jemari yang bertaut.
Aku
masih merentangkan tanganku selebarnya, menjangkau lebih banyak rintik yang
jatuh, tersenyum dengan kepala yang mendongak ke atas. "Semesta, mari
menari"
Komentar
Posting Komentar