Langsung ke konten utama

200 km Melawan Ketakutan

Jelajah pantai adalah salah satu hal yang paling menyenangkan menurutku. Masuk ke area pantai yang terpencil, menatap layar handphone dengan informasi rute google maps, juga asiknya momen tersesat, dan bercanda selama perjalanan dengan sahabat jalan.

Puluhan perjalanan dengan banyak kondisi sudah pernah aku lalui, tapi perjalanan yang membekas diingatan ya perjalanan bulan Agustus lalu. Surabaya - Trenggalek bersama dua kesayangan, Gio (motorku) dan Dania. Sembilan jam perjalanan, 200 km, dan hutan rapat diwaktu malam.

Kami pernah juga bermalam di pantai berdua, naik motor pula, tapi perjalanan Agustus lalu berbeda. Pukul 7 malam kami baru masuk kawasan desa, 20 km sebelum bibir pantai. Hal pertama yang kami temui adalah jalanan tanpa lampu yang berkelok diantara hutan, dan jarang berpapasan dengan kendaraan lainnya. Kami sama-sama ketakutan sebenarnya, tapi kami memilih diam dan meyakinkan diri sendiri untuk berani. Dan yah, kami sampai di area pantai tepat pukul 9 malam disertai komentar "kok berani mbak berdua tok cewek-cewek malem-malem mau kemping" dari penjaga warung yang kami singgahi. Kami hanya menjawab dengan senyum. Lebih tepatnya kami tak tau harus menjawab apa. Sejujurnya kalau bukan bersama Dania aku tak yakin bisa sampai di pantai malam itu, aku mungkin memilih putar balik dan menginap saja di kota.

Bukan hanya saat berangkat, camping kali ini sungguh menguji keberanian kami. Hari kedua kami memginap di pantai yang lebih sepi penghuni dan lebih jauh dari tempat tinggal warga. Beruntungnya, di area itu sudah dibangun kamar mandi yang dialiri listrik. Sayangnya pantai ini (pantai kecil namanya) ternyata punya energi mistis yang kuat dan mengganggu kenyamanan. Bodohnya, kami mendirikan tenda saat malam sudah berjangkar. Tak terhitung berapa kali kami emosi saat mendirikan tenda, selain karna tenda kami yang rangkanya susah dikaitkan, kami sebenarnya juga ketakutan berdiri dikelilingi pantai dan hutan yang beraura mistis kuat. Kami baru merasa nyaman saat berada di dalam tenda, tentunya dengan garam yang ditabur mengelilingi tenda.


Awalnya kami hanya berniat menginap semalam, tapi karna kami belum puas berpetualang, akhirnya muncul ide untuk ikut melaut bersama nelayan. Kami kumpulkan info, kabarnya kapal nelayan berangkat pukul 5 sore dari TPA. Baiklah, kami memutuskan menginap satu malam lagi di pantai Kecil. Singkat cerita, ternyata kami gagal diperbolehkan ikut melaut dengan alasan cuaca yang buruk, ombak sedang tinggi, dan alasan utama adalah "KARNA KAMI PEREMPUAN" (sampai hari ini aku bahkan masih emosi setiap mengingat alasan ini). Kami pun kembali ke pantai Kecil, hari sudah gelap saat itu, tak diduga ternyata pantai semakin sepi, ombak semakin keras menggulung, aura mistis makin pekat, dan kabar soal kami berdua yang menginap di pantai dengan tenda sudah menyebar ke seantero desa. Dengan yakin akhirnya kami memutuskan untuk kembali malam itu juga.

Pukul 11 malam akhirnya kami memulai perjalanan kembali, mengepak semua barang, dan membongkar tenda dengan emosi yang jauh lebih panas dari saat mendirikan. Iya kami makin ketakutan.

20 km dengan hutan yang sama gelapnya, tapi kali ini tepat tengah malam. Bagi kami saat itu, kembali pulang didini hari jauh lebih masuk akan dibanding harus tetap dipantai dengan alam yang mengamuk, aura mistis yang marah, dan kemungkinan kejahatan manusia bisa kapanpun terjadi.

Aku akhirnya merasakan, bahwa alam memang tak layak dilawan. Kata hati juga jadi faktor utama keselamatan. Dan jangan lupakan, teman perjalanan yang tepat juga satu yang ikut punya andil besar.

Sungguh perjalanan yang mungkin aku akan ingat selamanya, yang pasti akan aku ceritakan kepada anakku kelak. 200 km melawan ketakutan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Dan Pengalaman Sakaw Aroma Karsa (Full Spoiler)

“Kalau wewangian bisa berbicara, suaraku pasti sudah habis menyapa mereka satu demi satu”  Jati Wesi (Surat-Surat Dari Grasse. Aroma Karsa – part 8) “Dari semua yang pernah kukenal, kamu orang pertama yang bisa membaui dunia seperti yang kubaui, yang bisa mencium apa yang kucium. Orang pertama yang mengerti.” – Jati Wesi (Separuh Misteri. Aroma Karsa – part 7) “Asmara tidak bisa dipahami, Cuma bisa dirasakan akibatnya” – Empu Smarakandi Beberapa bulan ini aku sedang keranjingan satu karya yang berhasil membolak balik pikiranku, yang membuat hatiku berjangkar di sana tanpa mau berpindah sejak awal kalimatnya sampai. Aroma Karsa, satu lagi karya terbaru Dee Lestari yang baru 16 Maret 2018 lalu resmi terbit di toko buku. Aroma Karsa sendiri diterbitkan dalam dua versi, buku dan digital. Secara digital, buku ini diterbitkan dalam format cerbung yang dibagi dalam 18 part setiap hari senin dan kamis mulai Januari lalu oleh Bookslife. Seperti yang terlihat pada p

#SebulanCurcol #Day12: Aku #SobatDrakor

Hari ini masuk ke tema yang lumayan receh dan ringan nih di #SebulanCurcol setelah kemarin mengharu biru ngomongin pesan buat anak kita kelak. Kalau ngomongin hobi, di CV aku cuma masukin empat padahal sebenarnya ada lima hobi yang aku selalu lakukan. 1. Dengerin musik 2. ‎Baca buku fiksi 3. ‎Nonton 4. ‎Jelajah pantai Dan yang terakhir, yang terlalu random untuk ditulis di CV adalah 5. ‎Nyampul buku Kalau dengerin musik kayanya bukan hobi lagi ya, tapi sudah masuk kebutuhan bagi aku. Disaat apapun, kondisi apapun musik adalah hal esensial buat aku. Musik itu elemen penting untuk menambah konsentrasi bagiku. Belajar, nyetir, bahkan dulu saat rapat-rapat penting dan krusial aku selalu butuh musik supaya tetap waras dan bisa konsentrasi jauh lebih lama. Oke, lain kali mungkin aku akan cerita soal musik di hidupku. Kalau poin kedua dan keempat sepertinya sudah sering masuk dicerita-cerita lainku di blog ini. Soal hobi menyampul buku pun sepertinya pernah aku baha

Senandika

Yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati. Ada banyak hal yang tandang dalam pikir. Sebagian pergi, sebagian mampir sejenak, dan sebagian lagi menetap. Mengakar dan dalam. Pernah ada yang datang mengancapkan akar, cukup kuat nan mengubah perjalanan. Dunia berubah, kenyataan berubah, dan ia pun sama berubahnya. Kemudian kemarin, rasanya baru kemarin satu lagi mampir. Terlampau indah untuk dilewatkan, tapi pun terlalu mengawang membawanya datang di pangkuan. Kemudian pertanyaan datang, apa saatnya rehat? Apa memang saatnya mengembalikannya lagi mengawang? Jalannya redup nan pincang. Hanya saja harapan masih menyala redup menantang. Apakah ini saatnya? Atau apakah boleh merayu sekali lagi? Apakah boleh mengetuk kembali ke pintu yang sama, harapan yang sama? Tapi yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati.