Langsung ke konten utama

Untukmu, Hadiah Tuhan




26 purnama, sempurna ku habiskan untuk terjebak di satu nama, KAMU. Hanya butuh sekali aku membaca kepribadianmu kala itu, Mei 2013 diperjalanan kembali dari Banyuwangi. Lihat, aku sungguh tak pandai mengingat, tapi aku mengingat kejadian itu dengan sempurna. Aku menunggu sampai usiaku 22 tahun untuk dapat bertemu sosok yang selalu hadir dalam khayalanku. Mulai hari itu aku kenal siapa yang selalu hadir di mimpi panjangku, orang yang aku yakin akan ada sosoknya. Hari itu aku kenal namanya. Enam tahun terpaut dari usiaku, tapi ia yang bisa membuatku tak tidur setelah aku sempurna membaca semua yang ada di pikirannya, termasuk jalan hidup dan mimpinya. Sosok yang membuatku terjaga malam itu, bahkan menangis karna haru. Akhirnya orang yang aku impikan bukan hanya khayalan.

Bukan hal yang mudah mencintaimu, bahkan aku harus berkali-kali meyakinkan diriku. Terkadang bahkan aku sungguh ingin melempar kepalamu dengan beton, supaya kamu tau, sesakit itu aku mencintaimu. Beratus malam kita habiskan dalam obrolan, apapun, hanya untuk mengisi waktu kita saat insomnia. Puluhan deringan telfon yang aku angkat hanya untuk menenangkanmu saat puluhan batang tembakau tak sanggup membuatmu tenang. Puluhan tangisku terhenti di tiap deringan yang kau angkat. Entah berapa pantai indah kutatap bersamamu, entah berapa pagi yang kusyukuri di sisimu.

Tiga perempuan pernah mampir di kisah cintamu, tiga kali pula aku menjadi seorang yang kembali membangukanmu untuk kembali mencinta. Demi kamu, aku bahkan mematahkan kisah cinta seorang lelaki luar biasa yang tulus membagi harinya bersamaku. sungguh tak mudah bertahan mencintamu. Kadang aku mencoba menyerah, tapi apalah dayaku yang selalu gagal setiap aku melihatmu tepekur di hadapan buku atau laptopmu. Melihatmu di kotamu, memandangmu berjuang untuk banyak kepala, aku merasa menyesal pernah mencoba berhenti mencintaimu.

Maafkan karena di beberapa purnama terakhir aku lah yang terus berusaha mematikan rasaku, meredam debaran yang selalu hadir di jabat tangan pertama tiap pertemuan kita, menggeser sayangku sebagai sayang seorang sahabat, tidak lebih. Mengapa? Karna aku sadar, aku hanya ditakdirkan membangunkanmu dari sakit, tidak untuk kau jadikan tempat berlabuh, aku hanya gubuk hangat yang kau temui di sela perjalananmu ke puncak gunung. Hangat, menyenangkan, tapi tak pernah berusaha kau tinggali selamanya.

Sungguh aku menyerah kali ini. Dan di awal Agustus, masih ritual berkemah kita, di jabat tanganmu aku tak lagi salah tingkah, di banyak tatapanmu aku tak lagi melayang, di pelukan dan usapan kepala yang kau lakukan aku tak lagi menemukan debaran. Hari itu aku teramat paham apa yang aku rasakan, aku sungguh telah mengikhlaskanmu, ikhlas melepas mimpi berkisah bersamamu, walau segala tentangmu masih tetap mempesona.

Awal Agustus 2015, untuk kali pertama aku terbangun di dalam tenda tanpa kamu di sisiku, pertama kali aku tak lagi ingin menyesap kopi dari cangkirmu. kebiasaan yang tak pernah terlewat ditiap camping kita.

Hari itu, aku merasakan kosong, karena sungguh di hatiku tak lagi ada namamu. Setelah 26 purnama, aku memulai lagi menghitung berapa orang yang aku temui. Jikalau memang kamu adalah hadiah Tuhan untuk 10000 orang yang aku temui, mulai hari ini aku akan mulai lagi menghitung. Semoga tak lama, semoga orang lain cepat dihadiahkan Tuhan kembali untukku.

Seorang sahabat pernah berkata padaku “apabila ada seseorang yang menghambur tulusmu, ia yang akan menyesal. Walaupun kamu yang merasakan sakitnya” ternyata aku tak lagi merasakan sakit, bahkan aku tersenyum. Menertawai kisah panjang ini. Menutupnya dengan doa. Semoga kamu kelak bertemu perempuan yang akan mencintaimu sepertiku.


"Untuk satu nama yang pernah selalu aku selipkan dalam doaku kala fajar. Untuk seseorang yang hanya dengan suaranya mampu hentikan tangisku. Untuk seseorang yang selalu setia menatapku saat aku bercengkrama dengan ombak. Untuk kamu, hadiah Tuhan untukku."


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Dan Pengalaman Sakaw Aroma Karsa (Full Spoiler)

“Kalau wewangian bisa berbicara, suaraku pasti sudah habis menyapa mereka satu demi satu”  Jati Wesi (Surat-Surat Dari Grasse. Aroma Karsa – part 8) “Dari semua yang pernah kukenal, kamu orang pertama yang bisa membaui dunia seperti yang kubaui, yang bisa mencium apa yang kucium. Orang pertama yang mengerti.” – Jati Wesi (Separuh Misteri. Aroma Karsa – part 7) “Asmara tidak bisa dipahami, Cuma bisa dirasakan akibatnya” – Empu Smarakandi Beberapa bulan ini aku sedang keranjingan satu karya yang berhasil membolak balik pikiranku, yang membuat hatiku berjangkar di sana tanpa mau berpindah sejak awal kalimatnya sampai. Aroma Karsa, satu lagi karya terbaru Dee Lestari yang baru 16 Maret 2018 lalu resmi terbit di toko buku. Aroma Karsa sendiri diterbitkan dalam dua versi, buku dan digital. Secara digital, buku ini diterbitkan dalam format cerbung yang dibagi dalam 18 part setiap hari senin dan kamis mulai Januari lalu oleh Bookslife. Seperti yang terlihat pada p

#SebulanCurcol #Day12: Aku #SobatDrakor

Hari ini masuk ke tema yang lumayan receh dan ringan nih di #SebulanCurcol setelah kemarin mengharu biru ngomongin pesan buat anak kita kelak. Kalau ngomongin hobi, di CV aku cuma masukin empat padahal sebenarnya ada lima hobi yang aku selalu lakukan. 1. Dengerin musik 2. ‎Baca buku fiksi 3. ‎Nonton 4. ‎Jelajah pantai Dan yang terakhir, yang terlalu random untuk ditulis di CV adalah 5. ‎Nyampul buku Kalau dengerin musik kayanya bukan hobi lagi ya, tapi sudah masuk kebutuhan bagi aku. Disaat apapun, kondisi apapun musik adalah hal esensial buat aku. Musik itu elemen penting untuk menambah konsentrasi bagiku. Belajar, nyetir, bahkan dulu saat rapat-rapat penting dan krusial aku selalu butuh musik supaya tetap waras dan bisa konsentrasi jauh lebih lama. Oke, lain kali mungkin aku akan cerita soal musik di hidupku. Kalau poin kedua dan keempat sepertinya sudah sering masuk dicerita-cerita lainku di blog ini. Soal hobi menyampul buku pun sepertinya pernah aku baha

Senandika

Yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati. Ada banyak hal yang tandang dalam pikir. Sebagian pergi, sebagian mampir sejenak, dan sebagian lagi menetap. Mengakar dan dalam. Pernah ada yang datang mengancapkan akar, cukup kuat nan mengubah perjalanan. Dunia berubah, kenyataan berubah, dan ia pun sama berubahnya. Kemudian kemarin, rasanya baru kemarin satu lagi mampir. Terlampau indah untuk dilewatkan, tapi pun terlalu mengawang membawanya datang di pangkuan. Kemudian pertanyaan datang, apa saatnya rehat? Apa memang saatnya mengembalikannya lagi mengawang? Jalannya redup nan pincang. Hanya saja harapan masih menyala redup menantang. Apakah ini saatnya? Atau apakah boleh merayu sekali lagi? Apakah boleh mengetuk kembali ke pintu yang sama, harapan yang sama? Tapi yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati.