Langsung ke konten utama

Sepotong Bahagia yang Sederhana




Beberapa hari lalu aku dipaksa oleh sahabatku untuk bersama pergi ke kotanya. 

Iya, aku termasuk jutaan manusia sial yang ternyata jatuh cinta pada sahabatnya sendiri. Kami bersahabat dalam satu lingkaran kecil berisi lima orang termasuk aku yang dipersatukan oleh kebutuhan kami menjelajah semesta. Aku benar tak merencanakan kepergianku kali ini, akan tetapi paksaan dari partner perempuanku di geng ini yang akhirnya membuatku beranjak dari kotaku, dengan banyak pertimbangan dan protes pada semesta yang skenarionya selalu tak terduga. Bagaimana tidak, ternyata aku masih belum siap bertemu lagi dengannya. Lelakiku.

Tapi maaf, kali ini aku tidak sedang akan menceritakan kisah tentang cinta. Aku akan berkisah tentang hal lain.

Di dalam lingkaran kami ini, ada dua orang lain yang memang hobi menganalisis lingkungan dan kehidupan, selain aku. Beberapa kali mereka bahkan rela menyusulku hanya untuk berbicara panjang tentang hidup, tentang sistem negara ini, tentang agama, bahkan tentang sejarah. Menghabiskan malam sampai pagi datang tanpa dua orang yang lain yang memang tak tertarik dengan obrolan kami. Entahlah, mungkin aku mencandui ritual kami ini. Ritual kami yang terlalu banyak bercumbu dengan malam, menelaah kehidupan, dan dengan pertemuan kami yang terbilang jarang, ini lah cara masing-masing dari kami mengurai pikir. Mengurai apa yang jadi bahan kerja otak di tiap harinya. Aku memang tak tahan dengan asap rokok mereka, tetapi rasanya selalu tawar oleh obrolan kami.

Sebelum pertemuan terakhir itu, aku selalu mengeluh. Ternyata tak menemukan lawan bicara yang pas di dunia nyata itu membuat makin kacau pikiran. Dan ternyata tak banyak orang yang bisa dengan gampangnya menerima apa yang menjadi pikiranku.


Hari itu, disaat dua sahabat kami sibuk memasak untuk sahur, dan aku yang masih mengantuk, mereka duduk disampingku, membicarakan soal bagaimana agama dimata sebagian orang, berbincang mengenai banyak orang yang dianggap atheis oleh lingkungan yang ternyata malah lebih memahami agama. Mereka berdiskusi tentang banyaknya manusia yang lupa kodratnya sebagai manusia, tentang bagaimana lingkungan ini bisa dianggap baik, dan banyak hal yang masuk di telingaku. Di jari mereka terselip sebatang rokok yang menyala, dan dihadapan mereka tersaji dua cangkir kopi hitam pekat dengan racikan dua sendok kopi dan satu sendok gula. Racikan kesayangan mereka, kopi kesayangan lelakiku. Kali ini aku tak lagi merebut rokok itu dari genggaman lelakiku, karena aku tau, hari ini mereka akan menyajikan penawarnya untukku. Walaupun hari itu aku tak ikut berceloteh, tapi rasanya dahagaku lenyap menguap bersama obrolan mereka. Tanpa aku ikut berbincang, ternyata segalanya cukup untukku. Cukup untuk menelan banyak kekecewaan. Dan dihari itu aku tau ternyata selalu ada sepotong kebahagiaan untuk apa yang sudah ditakdirkan semesta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Dan Pengalaman Sakaw Aroma Karsa (Full Spoiler)

“Kalau wewangian bisa berbicara, suaraku pasti sudah habis menyapa mereka satu demi satu”  Jati Wesi (Surat-Surat Dari Grasse. Aroma Karsa – part 8) “Dari semua yang pernah kukenal, kamu orang pertama yang bisa membaui dunia seperti yang kubaui, yang bisa mencium apa yang kucium. Orang pertama yang mengerti.” – Jati Wesi (Separuh Misteri. Aroma Karsa – part 7) “Asmara tidak bisa dipahami, Cuma bisa dirasakan akibatnya” – Empu Smarakandi Beberapa bulan ini aku sedang keranjingan satu karya yang berhasil membolak balik pikiranku, yang membuat hatiku berjangkar di sana tanpa mau berpindah sejak awal kalimatnya sampai. Aroma Karsa, satu lagi karya terbaru Dee Lestari yang baru 16 Maret 2018 lalu resmi terbit di toko buku. Aroma Karsa sendiri diterbitkan dalam dua versi, buku dan digital. Secara digital, buku ini diterbitkan dalam format cerbung yang dibagi dalam 18 part setiap hari senin dan kamis mulai Januari lalu oleh Bookslife. Seperti yang terlihat pada p

#SebulanCurcol #Day12: Aku #SobatDrakor

Hari ini masuk ke tema yang lumayan receh dan ringan nih di #SebulanCurcol setelah kemarin mengharu biru ngomongin pesan buat anak kita kelak. Kalau ngomongin hobi, di CV aku cuma masukin empat padahal sebenarnya ada lima hobi yang aku selalu lakukan. 1. Dengerin musik 2. ‎Baca buku fiksi 3. ‎Nonton 4. ‎Jelajah pantai Dan yang terakhir, yang terlalu random untuk ditulis di CV adalah 5. ‎Nyampul buku Kalau dengerin musik kayanya bukan hobi lagi ya, tapi sudah masuk kebutuhan bagi aku. Disaat apapun, kondisi apapun musik adalah hal esensial buat aku. Musik itu elemen penting untuk menambah konsentrasi bagiku. Belajar, nyetir, bahkan dulu saat rapat-rapat penting dan krusial aku selalu butuh musik supaya tetap waras dan bisa konsentrasi jauh lebih lama. Oke, lain kali mungkin aku akan cerita soal musik di hidupku. Kalau poin kedua dan keempat sepertinya sudah sering masuk dicerita-cerita lainku di blog ini. Soal hobi menyampul buku pun sepertinya pernah aku baha

Senandika

Yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati. Ada banyak hal yang tandang dalam pikir. Sebagian pergi, sebagian mampir sejenak, dan sebagian lagi menetap. Mengakar dan dalam. Pernah ada yang datang mengancapkan akar, cukup kuat nan mengubah perjalanan. Dunia berubah, kenyataan berubah, dan ia pun sama berubahnya. Kemudian kemarin, rasanya baru kemarin satu lagi mampir. Terlampau indah untuk dilewatkan, tapi pun terlalu mengawang membawanya datang di pangkuan. Kemudian pertanyaan datang, apa saatnya rehat? Apa memang saatnya mengembalikannya lagi mengawang? Jalannya redup nan pincang. Hanya saja harapan masih menyala redup menantang. Apakah ini saatnya? Atau apakah boleh merayu sekali lagi? Apakah boleh mengetuk kembali ke pintu yang sama, harapan yang sama? Tapi yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati.