Langsung ke konten utama

Dua Garis Biru "Kado Untuk Kita"




“Dua Garis Biru”
Sejujurnya saya mengikuti film ini dari awal proses pembuatannya karna kebetulan saya salah satu yang mengikuti perkembangan karir Zara, member yang berhasil membawa saya kembali “ngidol” JKT48 setelah dialog “Diiiiisaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa”nya di Dilan 1990 dan actingnya yang luar biasa di film Keluarga Cemara. Awalnya saya bahkan nggak menyadari makna kalimat “dua garis biru” yang dijadikan judul. Saya hanya yakin film ini akan bagus karna penulis script dan sutradaranya adalah Mbak Gina S Noer, orang yang juga menulis dua film kesukaan saya, Posesif dan Keluarga Camara.


Saat teasernya muncul dan menghebohkan, saya pun jadi salah satu orang yang tak sabar menantikan film ini karena saya tau film ini akan membahas tentang seksualitas remaja, dunia yang sejak remaja saya geluti, yang saya perjuangkan bahkan sampai saat ini. Akan tetapi bukan hanya alasan itu yang membuat saya jatuh cinta pada film ini, selain punya makna dan nilai, film ini digarap dengan sungguh-sungguh, setiap adegan, dialog, blocking, lokasi, soundtrack, bahkan pemilihan komposisi gambar benar-benar dipikirkan.



Mari kita bahas satu persatu.

Hal yang paling ingin saya apresiasi adalah skenario film ini, skenario dan dialog yang disampaikan benar-benar dibuat dekat dengan kami, bahkan selama menonton saya merasa saya tidak sedang dalam bioskop. Saya seperti sedang berada dalam satu kasus yang biasa saya tangani dulu. Penggambaran situasinya benar-benar dibuat real. Kepolosan Bima, apa yang dilakukan Dara & Bima, reaksi orang tua mereka, dan apa yang dilakukan pihak sekolah menanggapi kasus kehamilan diluar nikah benar-benar membuat saya dejavu.

Ada salah satu line yang diucapkan Ibu Bima yang ada pula di teaser keduaanya “kamu narkoba ya? Bapak anak kita narkoba Pak” dialog itu terdengar akrab di telinga saya, jadi salah satu bahan becandaan di organisasi remaja saya dulu karna seringnya jadi bahan curhatan baik klien maupun kami sendiri. Kalimat itu yang selalu diucapkan Ibu saat anak mereka berubah dan dirasa ada yang aneh.


Kedua, yang mau saya berikan apresiasi adalah team casting film ini yang sudah mempertemukan para scene stealer dalam satu project dan jadi tokoh utama. Enam orang tokoh kunci di film ini benar-benar dimainkan dengan sangat apik dan epic. Sebagai anak yang besar di tahun 90’an penampilan Lulu Tobing jadi salah satu yang saya tunggu. Zara bermain dengan performa terbaiknya, dia berhasil memerankan Dara dengan porsi yang pas, ekspresi sedih, gembira, jatuh cinta, dan semangatnya mengejar mimpi benar terlihat. Angga Yunanda pun memerankan Bima dengan baik, walaupun saya baru pertama kali menonton aktingnya di film ini, saya jatuh cinta. Bima yang polos cenderung bodoh, cinta tulusnya, tanggung jawab, dan penyesalannya dapat sangat bagus tergambar. Angga dan Zara sungguh bisa diberikan applause akan kerja kerasnya di project film ini. Saya cukup tercengang dengan acting Angga di scene bawah ini. Angga berhasil berdialog sambil menitikan air mata dan ekspresi yang luar biasa.




Ada 3 scene yang membuat saya tak lagi bisa menahan air mata, pertama adegan saat Mama Rika dan Dara ngobrol di kamar sambil bernyanyi dan diakhiri dengan Dara yang merapal maaf untuk mamanya, kedua adalah adegan saat Bima dan Ibunya ngobrol sambil membungkus makanan sungguh adegan itu adalah adegan terindah yang pernah saya lihat di film remaja Indonesia, ditambah dialog Bima “tapi kalau boleh Bima minta, Ibu bisa memaafkan diri sendiri”. Hanya dengan mengingat dialog dan scene itu saja saya dapat menitikan air mata. Adegan ketiga yang juga membuat saya banjir air mata adalah saat ending film, dengan lirik soundtrack yang bener menggambarkan situasi dan apa yang dirasakan Bima dan Dara, yang sejak hari saya menonton film ini hingga entah kapan selalu terngiang dalam pikiran “can anybody tell me, can anybody tell me, can anybody help me, how to, what to do” yang diulang terus menerus.

Selain itu, film ini banyak mengandung unsur pengandaian yang sangat baik disampaikan, dan ya memang mengena bagi kami penontonnya sampai selalu jadi bahasan di media sosial. Mbak Gina memanglah, ingin salim saat bertemu.

Film ini adalah salah satu film terbaik yang pernah saya tonton. Salah satu film yang punya after effect yang mendalam. Kali pertama saya menonton, saya keluar bioskop sambil bengong karna filmnya yang sungguh bagus dan diluar ekspektasi. Malam harinya saya hampir tidak tidur karna memikirkan film ini, teringat seluruh scene yang memang indah. Bahkan sampai 3 hari setelahnya, semua scene masih terbayang nyata di pikiran. Film ini perlu diapresiasi.



Oke, itu adalah hal yang bisa kita obrolkan dari sisi penikmat film, kali ini saya akan membahas film ini dari sisi saya sebagai orang yang pernah dan sampai sekarang masih berjuang untuk pendidikan seksual remaja.

Dua Garis Biru, selain menggambarkan fenomena kehamilan remaja diluar pernikahan juga menggambarkan ketimpangan sosial yang ada, film ini menggambarkan segala masalah yang dihadapi “si kaya” dan “si miskin”

Dara yang dibesarkan di keluarga yang berkecukupan tapi tidak selalu mendapatkan perhatian, bahkan sering ditinggal di rumah sendiri karena kedua orang tuanya yang bekerja. Film ini juga menggambarkan keadaan kebanyakan keluarga yang tidak melibatkan anak dalam pengambilan keputusan penting dalam keluarga. Contoh nyatanya ada pada keputusan sepihak Mama Dara yang ingin begitu saja menyerahkan cucunya kepada orang lain tanpa mendiskusikan hal tersebut kepada Dara, dan kejadian ini sungguh banyak terjadi di kehidupan nyata.

Sedangkan keluarga Bima yang sederhana, orang tua yang selalu hadir, tapi lingkuangan yang membawa banyak dampak buruk. Digambarkan dengan dialog Ibu Bima yang menyebutkan nama orang sekitarnya yang terjerat narkoba, dan obrolan tongkrongan Bima yang membuat Bima tau dimana alamat dukun beranak yang dapat menggugurkan kandungan.

Ada satu scene yang membuat saya tergelitik, scene setelah Dara lari karna tidak sanggup menggugurkan kandungannya, mereka membahas bagaimana kelanjutan nasib mereka, di sana Bima menyebutkan bahwa ada satu orang yang dia kenal yang membebat perut hamilnya sampai melahirkan obrolan ini yang sungguh menggambarkan urgent-nya film ini harus dibuat. Kehamilan diluar penikahan adalah hal yang sangat umum ada di masyarakat kita, hal yang selalu ditutupi, dan dirahasiakan sekaligus digunjingkan tapi juga jadi hal yang ingin dihindari. Memang inilah yang terjadi, sangking banyaknya kasus ini, masyarakat kita tak lagi menganggap ini penting untuk diedukasi. Selama ini kita lupa bahwa kejadian tersebut juga andil dari kita yang tidak memberikan informasi dengan lengkap dan benar, apabila terjadi kehamilan yang tidak diingankan, semua orang sibuk menyalahkan tanpa berfikir apa penyebabnya, sebenarnya kitalah yang salah, kita tidak memberi remaja akses sex education. 

Dalam film ini juga menggambarkan bahwa sebagai anak kita ini menanggung banyak beban ekspektasi orang tua, sebagai anak kita dituntut jadi orang yang lebih baik dari orang tua kita, ditentukan jalan dan masa depannya tanpa orang tua bertanya apa yang sebenarnya seorang anak mau, apa sebenarnya yang seorang anak inginkan dan resiko-resiko yang menyertainya.

Ya, film ini juga mengajarkan tentang ilmu parenting, film ini mengingatkan kembali bahwa ada hal yang lebih penting dari sesuatu yang bisa diraba, yang selalu jadi hal utama yang ingin diwujudkan semua orang tua. Bukan hanya harta, tapi kehadiran dan perhatian, obrolan antara orang tua dan anak yang kebanyakan orang lupakan, terutama obrolan tentang seksual yang selama ini jarang dibicarakan walaupun dibutuhkan.

Selain itu film ini mengingatkan kita kembali bahwa menjadi orang tua butuh kesiapan “jadi orang tua itu bukan cuma hamil Sembilan bulan sepuluh hari, itu pekerjaan seumur hidup” line yang selalu diingat dan juga pengingat untuk semua orang, termasuk saya.

Dan soal ending film yang digadang terinspirasi oleh lagu Sulung-Kunto Aji, saya sungguh merasa berterima kasih mbak Gina dipertemukan dengan karya indah itu. Lirik lagunya “yang sebaiknya kau jaga adalah dirimu sendiri” dan dilog dara “aku nggak mau jadi ibu yang akan menyalahkan anakku” adalah gaung yang sama walaupun diucapkan dalam kalimat yang berbeda. Ending dari film ini adalah hal yang paling ingin saya obrolkan dengan siapapun. Kenyataan bahwa Dara yang masih bisa mengejar cita-citanya saya anggap kado dan penguat untuk siapapun perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Ending film ini adalah pengingat bahwa kita boleh saja melakukan kesalahan, tapi kita juga berhak atas masa depan yang indah, sebesar apapun kesalahan yang kita buat, kita berhak atas kata maaf.


Ending film ini juga menggambarkan bahwa pilihan itu ada, Bima dan Dara berhak dan bisa memilih jalan mereka, apa yang mereka mau, apa yang mereka inginkan. Saya suka sekali dengan ending film ini, punya banyak arti, banyak makna, dan banyak kemungkinan. Applause 



Dua Garis Biru adalah gambaran tentang sex education dalam bentuk film yang berhasil memukau semua orang. Bagi saya, film ini adalah persembahan indah, kado untuk remaja Indonesia dan juga kami, pejuang isu kesehatan seksual remaja di Indonesia, film ini berhasil membuka banyak obrolan yang dianggap tabu jadi perbincangan, film ini membantu kami meneriakkan apa yang belum berhasil kami gaungkan dengan jauh lebih lantang. Saya secara pribadi sangat berterima kasih kepada seluruh team, terutama mbak Gina S Noer yang mengerjakan film ini dengan serius dan dengan hati, rasanya sungguh sampai kepada kami, penonton. Film ini indah.

Film ini jauh dari judgment salah dan benar, film ini berwarna, bukan hanya hitam dan putih. Hal yang susah kita temui di zaman sekarang, zaman dengan semua orang yang bebas menunjuk siapapun, yang dengan bebas melabeli seseorang semaunya. Film ini luar biasa indah.

Jadi, untuk siapapun kamu yang belum menonton film ini, segeralah datang ke bioskop, film ini adalah film yang layak ditonton semua orang. Anak remaja yang haus akan bahasan tentang sex education, orang tua, dan orang-orang seperti saya yang suatu saat akan menjadi orang tua. Film ini bukan soal sepasang remaja yang sedang jatuh cinta dan kemudian melakukan kesalahan. Film ini tentang kita yang pernah jadi anak dan kita yang pasti menjadi orang tua.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Dan Pengalaman Sakaw Aroma Karsa (Full Spoiler)

“Kalau wewangian bisa berbicara, suaraku pasti sudah habis menyapa mereka satu demi satu”  Jati Wesi (Surat-Surat Dari Grasse. Aroma Karsa – part 8) “Dari semua yang pernah kukenal, kamu orang pertama yang bisa membaui dunia seperti yang kubaui, yang bisa mencium apa yang kucium. Orang pertama yang mengerti.” – Jati Wesi (Separuh Misteri. Aroma Karsa – part 7) “Asmara tidak bisa dipahami, Cuma bisa dirasakan akibatnya” – Empu Smarakandi Beberapa bulan ini aku sedang keranjingan satu karya yang berhasil membolak balik pikiranku, yang membuat hatiku berjangkar di sana tanpa mau berpindah sejak awal kalimatnya sampai. Aroma Karsa, satu lagi karya terbaru Dee Lestari yang baru 16 Maret 2018 lalu resmi terbit di toko buku. Aroma Karsa sendiri diterbitkan dalam dua versi, buku dan digital. Secara digital, buku ini diterbitkan dalam format cerbung yang dibagi dalam 18 part setiap hari senin dan kamis mulai Januari lalu oleh Bookslife. Seperti yang terlihat pada p

#SebulanCurcol #Day12: Aku #SobatDrakor

Hari ini masuk ke tema yang lumayan receh dan ringan nih di #SebulanCurcol setelah kemarin mengharu biru ngomongin pesan buat anak kita kelak. Kalau ngomongin hobi, di CV aku cuma masukin empat padahal sebenarnya ada lima hobi yang aku selalu lakukan. 1. Dengerin musik 2. ‎Baca buku fiksi 3. ‎Nonton 4. ‎Jelajah pantai Dan yang terakhir, yang terlalu random untuk ditulis di CV adalah 5. ‎Nyampul buku Kalau dengerin musik kayanya bukan hobi lagi ya, tapi sudah masuk kebutuhan bagi aku. Disaat apapun, kondisi apapun musik adalah hal esensial buat aku. Musik itu elemen penting untuk menambah konsentrasi bagiku. Belajar, nyetir, bahkan dulu saat rapat-rapat penting dan krusial aku selalu butuh musik supaya tetap waras dan bisa konsentrasi jauh lebih lama. Oke, lain kali mungkin aku akan cerita soal musik di hidupku. Kalau poin kedua dan keempat sepertinya sudah sering masuk dicerita-cerita lainku di blog ini. Soal hobi menyampul buku pun sepertinya pernah aku baha

Senandika

Yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati. Ada banyak hal yang tandang dalam pikir. Sebagian pergi, sebagian mampir sejenak, dan sebagian lagi menetap. Mengakar dan dalam. Pernah ada yang datang mengancapkan akar, cukup kuat nan mengubah perjalanan. Dunia berubah, kenyataan berubah, dan ia pun sama berubahnya. Kemudian kemarin, rasanya baru kemarin satu lagi mampir. Terlampau indah untuk dilewatkan, tapi pun terlalu mengawang membawanya datang di pangkuan. Kemudian pertanyaan datang, apa saatnya rehat? Apa memang saatnya mengembalikannya lagi mengawang? Jalannya redup nan pincang. Hanya saja harapan masih menyala redup menantang. Apakah ini saatnya? Atau apakah boleh merayu sekali lagi? Apakah boleh mengetuk kembali ke pintu yang sama, harapan yang sama? Tapi yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati.