Langsung ke konten utama

Aku: Perempuan Pecinta Kesendirian Dan Kehidupan

Sebenarnya, ini adalah tulisan lama yang aku tulis Agustus 2015 lalu, sempat terposting, tapi entah mengapa kusembunyikan kemudian. Pagi ini aku kembali membuka draff postinganku dan membaca lagi tulisan ini. Dan kemudian aku tergerak membagikannya lagi. Selamat mengenal "Ismi Minarsy" :)

Hay, perkenalkan aku perempuan aquarius 24 tahun bergolongan darah B. Perindu setia pantai, maka saat aku lebih rindu seseorang dibanding pantai, dia istimewa dihidupku. Tetapi bukan berarti akhirnya aku kan setia selamanya. Terkadang aku juga perindu sunset, sunrise dan keheningan. Karna mereka juga seindah pantai, jangan tanyakan saat aku bisa bertemu senja di pantai, dihari itu aku bisa jamin bahwa aku adalah manusia terbahagia. 

Walaupun aku buta nada, aku salah satu yang tak dapat hidup tanpa music, tapi aku benci berisik, aku benci riuhnya orang berbicara, oleh karena itu aku sangat membutuhkan music. Saat banyak orang riuh berceloteh aku yang akan menyumbat telinga dengan nada.

Ada beberapa tempat yang aku cintai selain pantai. Salah satunya adalah toko buku. Entahlah, tapi saat aku disana aku selalu berhasil kabur dari kegilaan. Sekacau apapun pikiranku, saat aku masuk ke toko buku aku menemukan kewarasanku. Hanya melihat saja buku-buku itu berserak di tiap mata memandang. Aku menemukan kedamaian.

Tempat kedua adalah ruang tunggu. Walau sering kali aku tak menunggu apapun tetapi duduk saja disana membuatku damai. Melihat mereka yang lalu lalang, melihat kegelisahan di sekelilingku. Aku merasakan “berhenti” hanya melihat, tak berbuat, pun tak acuh. Karna sebagai orang yang hidup di perkotaan yang sangat dinamis, menurutku jeda adalah hal yang harus dibayar mahal. Tanyakan saja pada satu pabrik apapun, menghentikan sepuluh menit saja proses produksi, mereka bisa merugi sampai puluhan juta. Oleh karena itu di ruang tunggu dan tak melakukan apapun bagiku adalah hal mewah.

Ada dua hal yang paling syahdu dihidupku. Yang pertama tentu saja memandangi pantai. Hanya duduk saja di atas pasir, dengan alunan music yang kudengarkan sendiri lalu diam saja di sana. Melihat awan yang berarak-arak, merelakan diri diterpa angin yang kadang tak semilir, memandangai ombak yang datang pergi datang, kemudian pergi lagi. Berjam-jam aku melakukan hal itu, diam sendiri hanya duduk. Syahdu rasanya. Damai yang tak bisa dibayar atapun dicari di tempat mewah manapun. 

Hal kedua adalah saat aku menyampul buku. Sejak seragamku merah putih, aku adalah orang yang tidak dapat membiarkan semua bukuku tak tersampul rapi. Aku mencintai buku, teramat cinta. Jangankan milikku sendiri, buku yang aku pinjam dari kawan pun akan ku sampul sebelum membacanya. Ini yang membuat saat SMA aku selalu diberi urutan awal drama peminjaman novel di kelas. Semenjak aku mulai dewasa dan bisa menyampul bukuku sendiri dengan rapi, aku kecanduan. Berlama-lama dengan buku baru yang masih harum pabrik dan plastic mika pembungkusnya. Memotong pinggiran plastiknya dengan rapi dan presisi untuk kemudian dilipat dan direkatkan. Pernah dulu aku menyerahkan tugas ini kepada petugas toko buku yang memang bertugas menyampul, tapi ternyata bukan urusan sampul buku yang penting untukku, tapi proses menyampulnya yang kucintai. Membuatnya rapi dan sempurna, walaupun kemudian saat dibaca, sampulnya terlengkuk tapi selalu terlihat baik saja saat aku menyampulnya dengan baik, seperti tak terjadi apa-apa.

Disaat perempuan lain diluar sana sangat mencintai kehidupan wanita yang glamour dengan hobi shoppingnya, aku lebih mencintai duduk bersama mereka yang suka berfikir. Menelaah kehidupan, memikirkan masa depan, membicarakan system dan hukum. Bagiku, perempuan harus cerdas, walaupun akhirnya mereka akan tinggal di rumah mengurus anak. Bagaimana bisa generasi kita dibesarkan dari ibu yang tak berpendidikan? Mau jadi apa bangsa ini? Walaupun tak lantas kecerdasan dimaknai dengan nilai di ijazah atau penghargaan atas nilai tinggi. Tapi lebih dari itu, cerdas memecah masalah, memaknai setiap kejadian dan kemudian merasa terus bodoh dan mau belajar terus dan terus. Kalau hanya mengurus anak dan mengajari mereka berjalan, bahkan binatang pun begitu. Kalau banyak ulama berkata bahwa yang membedakan manusia adalah keimanannya, bagiku yang membedakan manusia itu isi otaknya. Laki-laki pun perempuan. Tak ada yang berbeda kecuali itu. Kalau kalian mengamini ungkapan “dibalik lelaki sukses akan selalu ada wanita yang mendukung” aku tak setuju dengan ini. Bagiku dibalik kesuksesan suami ataupun istri, ada kerjasama yang luar biasa disana. Bukan lalu salah satu diunggulkan dan yang laih hanya sebagai pendukung. Jangan protes, karna sudah banyak yang menghujat pemikiranku. Hal ini pula yang membuat aku sangat selektif memilih lelaki. Karna ternyata tak banyak lelaki yang mau menekan ego untuk disandingkan dengan perempuan.

Lantas jangan pula menilai aku sebagai perempuan pendiam dan serius. Semua yang aku ceritakan diatas sungguh hanya sisi asli diriku. Tak banyak yang mengenalku dengan definisi diatas. Dibalik semua hal itu aku adalah orang yang bisa membuat ruangan sepi menjadi riuh oleh tawa, orang yang paling sering pintunya diketuk oleh sesama kawan untuk kemudian diajak bercanda. Tak jarang bahkan seorang kawan memaksaku untuk bertemu saat ia sedih. Bukan untuk bercerita, tapi untuk membuatnya tertawa. Membuat mereka sejenak menemui kewarasan.

Masih banyak sebenarnya yang ingin aku ceritakan tentang diriku, tapi nanti sajalah tunggu aku ingin berkisah lagi, membuka sedikit rahasia lain tentang aku yang tak banyak yang tau.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Dan Pengalaman Sakaw Aroma Karsa (Full Spoiler)

“Kalau wewangian bisa berbicara, suaraku pasti sudah habis menyapa mereka satu demi satu”  Jati Wesi (Surat-Surat Dari Grasse. Aroma Karsa – part 8) “Dari semua yang pernah kukenal, kamu orang pertama yang bisa membaui dunia seperti yang kubaui, yang bisa mencium apa yang kucium. Orang pertama yang mengerti.” – Jati Wesi (Separuh Misteri. Aroma Karsa – part 7) “Asmara tidak bisa dipahami, Cuma bisa dirasakan akibatnya” – Empu Smarakandi Beberapa bulan ini aku sedang keranjingan satu karya yang berhasil membolak balik pikiranku, yang membuat hatiku berjangkar di sana tanpa mau berpindah sejak awal kalimatnya sampai. Aroma Karsa, satu lagi karya terbaru Dee Lestari yang baru 16 Maret 2018 lalu resmi terbit di toko buku. Aroma Karsa sendiri diterbitkan dalam dua versi, buku dan digital. Secara digital, buku ini diterbitkan dalam format cerbung yang dibagi dalam 18 part setiap hari senin dan kamis mulai Januari lalu oleh Bookslife. Seperti yang terlihat pada p

#SebulanCurcol #Day12: Aku #SobatDrakor

Hari ini masuk ke tema yang lumayan receh dan ringan nih di #SebulanCurcol setelah kemarin mengharu biru ngomongin pesan buat anak kita kelak. Kalau ngomongin hobi, di CV aku cuma masukin empat padahal sebenarnya ada lima hobi yang aku selalu lakukan. 1. Dengerin musik 2. ‎Baca buku fiksi 3. ‎Nonton 4. ‎Jelajah pantai Dan yang terakhir, yang terlalu random untuk ditulis di CV adalah 5. ‎Nyampul buku Kalau dengerin musik kayanya bukan hobi lagi ya, tapi sudah masuk kebutuhan bagi aku. Disaat apapun, kondisi apapun musik adalah hal esensial buat aku. Musik itu elemen penting untuk menambah konsentrasi bagiku. Belajar, nyetir, bahkan dulu saat rapat-rapat penting dan krusial aku selalu butuh musik supaya tetap waras dan bisa konsentrasi jauh lebih lama. Oke, lain kali mungkin aku akan cerita soal musik di hidupku. Kalau poin kedua dan keempat sepertinya sudah sering masuk dicerita-cerita lainku di blog ini. Soal hobi menyampul buku pun sepertinya pernah aku baha

Senandika

Yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati. Ada banyak hal yang tandang dalam pikir. Sebagian pergi, sebagian mampir sejenak, dan sebagian lagi menetap. Mengakar dan dalam. Pernah ada yang datang mengancapkan akar, cukup kuat nan mengubah perjalanan. Dunia berubah, kenyataan berubah, dan ia pun sama berubahnya. Kemudian kemarin, rasanya baru kemarin satu lagi mampir. Terlampau indah untuk dilewatkan, tapi pun terlalu mengawang membawanya datang di pangkuan. Kemudian pertanyaan datang, apa saatnya rehat? Apa memang saatnya mengembalikannya lagi mengawang? Jalannya redup nan pincang. Hanya saja harapan masih menyala redup menantang. Apakah ini saatnya? Atau apakah boleh merayu sekali lagi? Apakah boleh mengetuk kembali ke pintu yang sama, harapan yang sama? Tapi yang aku tau, Semesta selalu berbaik hati.