Langsung ke konten utama

Postingan

Menata Hidup, atau Menikmati Hidup?

“pekerjaan impianmu yang kaya apa Mi?” “heeeemmm, apa ya? Yang menyenangkan buat dikerjakan, yang bisa aku kerjain di mana aja, kerjaan yang aku bisa pake sandal jepit waktu aku kerja” _________________________________________________________________________________ Yah, itu sungguh jawaban ngasal yang sebenarnya serius, kurang lebih sudah tujuh tahun aku bekerja dibanyak bidang, aku pernah bekerja dengan penampilan rapi, sepatu, dan dandanan yang jauh dari umurku yang saat itu masih awal 20-an. Rapat-rapat berjam-jam, bahasan njelimet, bersama orang yang rata-rata baik di depan tapi menjatuhkan di belakang kita. Aku juga pernah bekerja di bidang yang paling aku suka bahasannya, yang jam kerjanya 24 jam full, tapi aku dengan senang hati menjalaninya. Pernah juga aku menjalani pekerjaan yang yahhh gajinya lumayan, beban kerja yang rendah bahkan aku bisa meringkas pekerjaan sebulanku hanya dalam beberapa hari dan selebihnya waktu kerjaku aku habiskan dengan nonton y...

Bale Kambang

Di pagi yang basah, matahari bersinar dengan berani di balik karang. Pagi ini aku hanya ingin berbincang tentang apa yang aku takutkan, apa yang aku rasakan, dan apa yang membuatku kembali membangun impian. Pagi ini aku tak ingin membincangkan rindu, untuk apa? Karna aku telah melihatnya langsung, ungkapan rindu seseorang kepada pucuk pasaknya. Perjalanan ini tentang kami, dua orang yang ingin kembali menata mimpi, memeluk harapan, dan ingin dikuatkan. Perjalanan ini tentang waktu, waktu yang berhasil diluangkan, waktu yang ingin diulur perlahan dalam bincang, dan waktu yang ingin kami habiskan untuk sedikit rehat, mengeluh, dan berkata lelah. Perjalanan ini tentang kami yang ingin membuktikan bahwa apapun dan siapapun kamu, hidup ini tak semenakutkan apa yang dilaporkan tiap pagi di layar berita. Perjalanan ini adalah pembuktian bahwa gender hanyalah perkataan dan budaya. Ini perjalanan dua orang perempuan yang lelah dinilai oleh banyak orang, dua orang yang hanya ingin din...

I'm Twenty Six

Hey, sekarang umurku 26, dua puluh enam, umur yang sudah dianggap tua oleh anak sekolahan tapi umur yang masih dianggap terlalu muda untuk disejajarkan dengan meraka yang telah mengaku orang dewasa. Perjalanku menjadi dewasa sudah kujalani lebih dari dua tahun. Dua tahun lalu aku masih ingat aku adalah manusia penuntut yang sering kali memprotes banyak hal yang bagiku tak sesuai. Aku lebih bahagia ketika berandai-andai “enak ya jadi bocah, bisa bahagia dengan cara sederhana, nggak perlu dilabeli kalau buat salah”, ah, pemikiran itu. Banyak sekali yang kulewati dalam dua tahun ini, beberapa hal aku lewati dengan tersenyum, beberapa lainnya kulewati dengan air mata yang jatuh saat malam. Dua tahun ini aku banyak belajar, bagaimana caranya menyikapi penghianatan, bagaimana mencari kebahagiaan disela banyak kata hujatan, bagaimana menjadi seorang anak dan kakak sekaligus, bagaimana aku tau sahabat sebenarnya, bagaimana menerima tanpa keluhan dan penyesalan. Perjalanan yang kujalan...

Surat Untuk Masa Depan

Hay Mi, aku tau suatu saat kamu akan membaca ini lagi. Aku tak tau kau akan seperti apa kelak, aku tak tau semesta akan membawamu berputar di poros yang mana nanti. Menjadi seperti apapun kamu kelak, semoga kau tak pernah melupakan mimpimu yang kamu bangun dengan susah payah hari ini. Iya hari ini aku sedang memperjuangkan masa depanmu. Semoga saat kamu membaca ini kamu sedang tersenyum karna akhirnya mimpimu jadi nyata, tapi saat ternyata mimpimu tak terwujud, tak apa, sungguh tak apa. Bagaimana menjadi dewasa? Apakah menyenangkan? Sudah pergi ke mana saja kamu? Sudahkah kamu menginjakkan kakimu ke Prague? Sudahkah akhirnya kamu menjelajahi Nusa Tenggara Timur? Bagaimana dengan S-2 mu, jadi melanjutkan di jurusan apa? Ah, sepertinya aku terlalu banyak bertanya. Aku tak tau saat ini kamu sedang membaca ini di mana, bisa jadi kamu sedang di eropa, atau mungkin masih di Surabaya. Kalau ternyata kamu masih di Surabaya dan belum ke mana-mana, sungguh tak apa, aku tau kamu past...

Menulis Mimpi

"100 MIMPI DAN KEINGINAN" Itulah judul di satu kertas lecek yang saya temukan dua tahun lalu. Kertas yang selama beberapa tahun tidak pernah saya ingat keberadaan dan isinya. Saya membacanya dan tertawa setelahnya. Ternyata saya pernah bermimpi untuk bisa ke Lombok naik pesawat untuk trip. Setelah saya ingat, pada saat itu saya belum pernah menginjakkan kaki di bandara, belum pernah tau rasanya terbang, bahkan belum tau seperti apa Lombok itu. Dan yah, semesta mengabulkan mimpi saya yang sudah terlupakan ini beberapa tahun kemudian. Yah mungkin kebetulan. Mungkin saat itu memang saya kebanyakan uang, tapi hey, mimpi asal-asalan saya tercapai lho. Baiklah, kita bahas yang lain. Masih di kertas sama yang kutemukan sudah kucel itu. Saya pernah menuliskan "jadi ketua satu organisasi", "bisa ngomong di depan orang banyak", dan "pergi ke Jakarta karna urusan kerjaan" bagi saya yang saat itu anak ingusan pergi ke Jakarta karna tugas memang se...

Perbincangan Malam Hutan Pinus

Pohon pinus Rumput berembun Tenda Dan kompor yang gagal dinyalakan Api unggun Aku Sahabat perjalanan Dan kamu yang lelap di pelukan Malam Suara jangkrik Hembusan angin pegunungan Dan sebuah kebenaran yang tak diungkapkan Tanah basah Gerimis Semut hitam Dan kita yang sama-sama diam Rengkuhan Genggaman tangan Tatapan mata menguatkan Dan kita yang membiarkan cinta berlalu tanpa dibincangkan

Kegalauan 25

Tahun ini umurku seperempat abad, sudah memasuki step "orang-orang udah males nanyain kapan nikah karna slalu dijawab ntar". Tapi sejujurnya aku malah ngga pernah segalau sekarang untuk urusan nikah. *hembus nafas* Kenapa galau? Kenapa jadi mendadak mikirin? Weits, sapa sih yang ngga pernah mikirin soal pernikahan? Apalagi sekarang video prosesi akad dan resepsi pernikahan banyak banget di youtube, dan dikemas cantik & syahdu pula, makin lah hasrat mau nikah ini ada, dan sapa sih orang yang ngga pingin punya "rumah" untuk pulang? Selain itu, di umur yang segini dan banyak yang sudah dilalui, aku pribadi merasa ada step selanjutnya yang harus aku langkahi karna step skarang sudah habis tantangannya. Haha, memang bagiku hidup ini tantangan. 😀😀 Tapi ternyata ngga mudah buat cari calon yang pas. Apalagi untuk anak yang udah jomblo hampir dua tahun 😔😔(gak ada hubungannya sih). Sebenarnya yang ngebuat susah bukanny...

Sehelai Roti Selai

Malam yang beranjak pekat, senja yang perlahan lelap, kamudian angin yang terasa makin padat. Tak ada lagi yang ku tunggu di sini, saatnya aku kembali ke jalanan beraspal, membingkai senja yang tadi terhampar. Lentera mulai menyala, musik mulai dihentak, pertanda pesta tlah dimulai. Di tempat ini kafe dan bar seperti jamur di padang lembab. Tumbuh subur dan makin lebat. Hari ini aku ingin berjalan saja, menikmati malam yang jauh dari ranum. Memandangi muda-mudi yang sedang menikmati makan malam mereka dengan sekaleng bir di meja dan tawa renyah. Aku tersenyum melihat mereka, hanya ingin tersenyum saja mengingat masa beberapa tahun silam. Aku terus berjalan, sampai satu mini market menggoda untuk aku masuki. Aku membeli air mineral, selembar roti selai, dan es krim yang ku comot segera sebelum berjalan ke arah kasir. Malam ini aku ingin menghabiskan makan malamku disini. Di sisi aspal, di bawah atap plang nama jalan. Di sebrang sana seorang pemuda sibuk mengarahkan ...

Saya Indonesia

Hay Indonesia. Saya pernah teramat kecewa padamu, saya bahkan pernah merasa menyesal lahir di wilayahmu, yang itu membuat saya otomatis menjadi wargamu. Dulu saya bukan orang yang akan membelamu di mata siapapun. Saya bahkan ikut mengamini semua hal yang menyinggung unsur negatifmu. Sampai saat ini saya bahkan masih memiliki rasa itu, mungkin sedikit, bisa jadi bertambah pekat, mungkin juga akan lenyap. Kalau banyak hati tlah terpanggil untuk mencintaimu, mungkin saya satu diantaranya. Saat ini saya sedang mencoba mencintaimu, perlahan. Dulu, di satu forum yang kebetulan menjadikan saya pembicara, saya pernah mendapat pertanyaan, "kalau kita berusaha membela Indonesia, mengapa Indonesia tak pernah menghargai kita?" Saya ingat, saya terdiam cukup lama, sampai akhirnya saya menjawab dengan pertanyaan "mengapa kita mempertanyakan bagaimana Indonesia menghargai kita? Lalu siapa Indonesia? Bukankah kita?" Sungguh pertanyaan yang sama sedang saya pertanyakan untuk d...

Bukankah Kita Sama?

“Hay, aku Mimi.” “Hay, kenalin aku Radit” Begitulah kira kira percakapan awal pada setiap pertemuan. Setelah bertukar sapaan dan nama, kemudian jabat tangan yang terjadi. Setelahnya, kita kawan. Begitu bukan? Hanya nama dan jabat tangan yang seolah paling utama dalam hal berkenalan dengan orang baru, bukan dimana rumahnya, bukan siapa orang tuanya, dan bukan pula apa agamanya. Sayangnya, setelah pertemuan dan perkenalan pertama ini, muncul konsep selanjutnya yang secara tidak langsung tertanam pada benak kita. Untuk pertemuan lanjutan, terkadang kita menimbang perkara suku apa mereka, bagaimana keluarganya, dan apa agamanya. Entah dari mana konsep ini berasal, tapi konsep inilah yang akhirnya membuat kita mengotakkan sesama, dan merasa terkotakkan. Baiklah kalau sebagian orang tak merasakan, tapi aku merasakannya, dan sejujurnya aku merasa terganggu dengan konsep ini. Pernah satu saat aku bersama satu kawan perempuanku yang kebetunan seagama denganku, aku ajak bert...