“Hay,
aku Mimi.”
“Hay,
kenalin aku Radit”
Begitulah kira kira percakapan awal
pada setiap pertemuan. Setelah bertukar sapaan dan nama, kemudian jabat tangan
yang terjadi. Setelahnya, kita kawan. Begitu bukan? Hanya nama dan jabat tangan
yang seolah paling utama dalam hal berkenalan dengan orang baru, bukan dimana
rumahnya, bukan siapa orang tuanya, dan bukan pula apa agamanya. Sayangnya,
setelah pertemuan dan perkenalan pertama ini, muncul konsep selanjutnya yang
secara tidak langsung tertanam pada benak kita. Untuk pertemuan lanjutan,
terkadang kita menimbang perkara suku apa mereka, bagaimana keluarganya, dan
apa agamanya. Entah dari mana konsep ini berasal, tapi konsep inilah yang
akhirnya membuat kita mengotakkan sesama, dan merasa terkotakkan. Baiklah kalau
sebagian orang tak merasakan, tapi aku merasakannya, dan sejujurnya aku merasa
terganggu dengan konsep ini.
Pernah satu saat aku bersama satu
kawan perempuanku yang kebetunan seagama denganku, aku ajak bertemu Ryan, kawan
jauhku dari lampung yang kebetulan sedang berada di kotaku. Perkenalan kedua
kawanku terasa wajar, obrolan kami bertiga pun berjalan baik. Sayangnya saat di
perjalanan pulang, kawan perempuanku berkata padaku, “Mi, kamu kok temenan ama
anak tattoan sih? Mana Kristen lagi” .Sedikit kaget, karena dalam obrolan kami,
dua hal tersebut tidak mampir dalam topic pembicaraan, tapi nyatanya mata
kawanku jeli menangkap tanda salip yang terselip di dalam kerah baju Ryan, dan
tattoo yang mungkin sedikit terlihat dari lengan baju Ryan. Saat itu aku hanya
menanggapi dengan ucapan “Ya biarin deh, Ryan baik kok”
Setelahnya, aku agak selektif
mempertemukan kawanku. Sejujurnya aku bukan tipe pemilih dalam berteman, selama
mereka enak diajak ngobrol, menurutku siapa dia, dari golongan dan agama apa
jadi tak penting. Sayangnyanya dimata sebagian orang lain hal itu menjadi
penting. Terutama soal agama. *sigh*
Terkadang aku benar-benar bertanya,
ada apa dengan agama? Bukankah agama hadir supaya hidup kita menjadi teratur
dan terarah? Tujuannya? Tentu kedamaian. Itulah yang aku yakini. Walaupun dalam
kenyataannya aku melihat bahwa agama sungguh menjadi propaganda yang teramat
receh. Aku seorang islam yang menyebut Tuhan dengan panggilan “Tuhan” bukan
“Allah” seperti apa yang dilakukan oleh orang islam kebanyakan. Entahlah, tapi
menurutku sebutan “Tuhan” itu universal tidak terkotak pada satu agama, Tuhan
ialah sebutan milik semua agama, karena memang semua agama berTuhan bukan?
Sedihnya, saat perbedaan agama ternyata jadi pemicu konflik, pemilihan pemimpin
yang ternyata kandidat terkuatnya bukan dari kalangan agama mayoritas pun
menjadi konflik yang besar. Jangankan dengan agama yang berlainan, sesama agama
pun, saat salah satu dianggap salah oleh mereka yang merasa mayoritas pun akan
berakhir dengan konflik.
Kemudian satu golongan mencoba
menghancurkan golongan lain yang dianggap “salah” dengan cara yang jauh dari
santun. Bukankah semua agama mengajarkan kebaikan, mencari satu hal berupa
kedamaian, walaupun sebutannya jadi berbeda ditiap agama. Bukankah kita
terlahir dengan intelegensi yang berbeda yang kemudian memaknai agama dengan
masing-masing intelegensi kita. Lalu mengapa kita masih saja mencela perbedaan,
bahkan disaat kita sebenarnya sadar bahwa kita semua berbeda. Bukankah kita
memeluk agama untuk mendapatkan kedamaian? Mengapa kita tak berdamai saja
dengan segala perbedaaan, karna sebenarnya kita sama, sama-sama mahluk Tuhan.
Komentar
Posting Komentar