Langsung ke konten utama

Postingan

Saya Indonesia

Hay Indonesia. Saya pernah teramat kecewa padamu, saya bahkan pernah merasa menyesal lahir di wilayahmu, yang itu membuat saya otomatis menjadi wargamu. Dulu saya bukan orang yang akan membelamu di mata siapapun. Saya bahkan ikut mengamini semua hal yang menyinggung unsur negatifmu. Sampai saat ini saya bahkan masih memiliki rasa itu, mungkin sedikit, bisa jadi bertambah pekat, mungkin juga akan lenyap. Kalau banyak hati tlah terpanggil untuk mencintaimu, mungkin saya satu diantaranya. Saat ini saya sedang mencoba mencintaimu, perlahan. Dulu, di satu forum yang kebetulan menjadikan saya pembicara, saya pernah mendapat pertanyaan, "kalau kita berusaha membela Indonesia, mengapa Indonesia tak pernah menghargai kita?" Saya ingat, saya terdiam cukup lama, sampai akhirnya saya menjawab dengan pertanyaan "mengapa kita mempertanyakan bagaimana Indonesia menghargai kita? Lalu siapa Indonesia? Bukankah kita?" Sungguh pertanyaan yang sama sedang saya pertanyakan untuk d...

Bukankah Kita Sama?

“Hay, aku Mimi.” “Hay, kenalin aku Radit” Begitulah kira kira percakapan awal pada setiap pertemuan. Setelah bertukar sapaan dan nama, kemudian jabat tangan yang terjadi. Setelahnya, kita kawan. Begitu bukan? Hanya nama dan jabat tangan yang seolah paling utama dalam hal berkenalan dengan orang baru, bukan dimana rumahnya, bukan siapa orang tuanya, dan bukan pula apa agamanya. Sayangnya, setelah pertemuan dan perkenalan pertama ini, muncul konsep selanjutnya yang secara tidak langsung tertanam pada benak kita. Untuk pertemuan lanjutan, terkadang kita menimbang perkara suku apa mereka, bagaimana keluarganya, dan apa agamanya. Entah dari mana konsep ini berasal, tapi konsep inilah yang akhirnya membuat kita mengotakkan sesama, dan merasa terkotakkan. Baiklah kalau sebagian orang tak merasakan, tapi aku merasakannya, dan sejujurnya aku merasa terganggu dengan konsep ini. Pernah satu saat aku bersama satu kawan perempuanku yang kebetunan seagama denganku, aku ajak bert...

Semesta Baru

Waktu berdetak terlalu cepat akhir-akhir ini, itulah yang aku rasakan. Mungkin ini hanya salah satu akibat dari aku yang sedang didera, dicambuk banyak impian yang menunggu digapai. Aku sudah tak lagi menyembuhkan luka, aku sudah tuntas memaafkan masa lalu. Aku sudah lama beranjak, tak lagi berkubang dalam jurang yang seolah nyaman. Aku tau, kemarin adalah proses panjangku untuk mengikhlaskan banyak hal. Sesuatu yang dulu menjadi semestaku, sesuatu yang pernah selalu menjadi alasanku bangun tiap harinya, merelakan waktu berlalu dengan otak yang tak henti berfikir. Sayangnya, masaku habis disana. Aku tak lagi memiliki semesta itu. Tak mudah meninggalkannya, tapi saat ini aku sungguh ikhlas meninggalkannya. Tanpa penyesalan, tanpa rasa ragu. Walaupun setelahnya aku merasakan waktu adalah detik yang terasa, menetes perlahan, karna deraan itu kosong, dan tak ada yang lebih menjengahkan selain perpaduan sempurna antara kekosongan, waktu yang menetes, sakit hati dan patah hati sekaligus...

Jengah Berpesta

Aku ingin bangun seperti biasa, menyesap air putih yang selalu ada di sebelah tempat tidurku kemudian, dan mencari handphone setelahnya. Aku hanya ingin menyesap hari ini dengan biasa saja, bermalas-malasan sejenak di kasur, baru kemudian mandi lalu pergi ke kampus untuk mengisi semangat menulis tugas akhir. Siangnya, setelah aku puas berbincang dengan beberapa orang di kampus yang membuatku asing, aku akan pergi, kemana saja. Bertemu kawan lama, atau hanya menghabiskan hari di dalam mall, apapun. Aku ingin menjalani hari ini dengan biasa saja, tanpa ucapan, tanpa pendar lilin diatas kue tart, dan tanpa kejutan mengarah perpeloncoan.  Aku hanya ingin menyesap hari ini dengan biasa saja. Sama halnya dengan 5 Mei, 12 Agustus, 24 Juli, dan tanggal lainnya. Aku tidak merayakan hari ini, aku tak ingin merayakan 10 Februari. Aku hanya ingin mengucap syukur dengan lirih, hanya untukku dan Tuhanku, Aku sudah jengah dengan pesta, aku terlalu lelah untuk hanya sekedar basa-basi,...

Gagal Bersembunyi

Hey, apa kabarmu jauh disana? Tiba-tiba teringat cerita yang pernah kita upayakan. Pagi itu, udara dingin menusuk sampai lapisan tulangku, ku tarik selimut yang telah terbuka setengah, hanya sebagian yang masih melindungi tubuhku. Saat itulah aku mengusikmu yang tidur di sampingku, di atas kasur yang sama, di bawah selimut yang sama pula. Tak malah terbangun, dengan kesadaranmu yang masih sebagian kau malah melingkarkan lenganmu ke tubuhku, memeluk dengan erat. Aku hanya tersenyum. Pagi itu aku tak lagi membutuhkan selimut, cukup pelukmu. Ku pikir aku berhasil melupakanmu. Berani-beraninya kenangan itu datang tersenyum. “Mas, bangun. Udah pagi, aku harus masuk kelas” tak malah mengalihkan tanganmu, kau makin mengeratkan pelukanmu, dan membenamkan wajahmu di samping kepalaku. “Mas, gimana bisa bangun kalo kamu gini?” ucapku kemudian, bernada kesal. “Buatin kopi dulu Mi, aku mau bangun kalo ada kopi” ah, lelaki manja ini. Pagi itu berakhir dengan aku yang beranjak membua...

1 Desember yang Dirayakan

1 Desember Saya tidak merayakan hari ini, bahkan saya berkabung untuk hari ini. Hari dimana banyak orang sedang merayakan kerja keras bertajuk kesetaraan dan kemanusiaan. Bukan karena saya tak lagi menghargai perjuangan, tapi saya lelah berpesta akan keberhasilan kecil, oh, atau boleh saya sebut dengan seolah keberhasilan kecil? Saya   lelah merayakannya. Saya ingin perjuangan panjang ini dimaknai dengan nyata oleh banyak kepala. Saat itulah saya ingin merayakannya. Hari ini saya sedang berkabung, berkabung atas rasa memanusiakan manusia yang seolah mati, kita seolah tak menganggap beberapa gelintir golongan ini manusia, mereka kita anggap korban, mereka kita anggap sasaran yang akan kita bangkitkan. Mengapa tak pandang saja semuanya manusia yang akan bersama kita untuk berjuang. Bukan sasaran perjuangan. Hari ini saya pun berkabung karena hati banyak manusia yang membeku, hanya menjalani hidup tanpa menggunakan logika, berfikir income, tak lagi berfikir dengan ha...

Siang, di Dalam Perjalanan

Di dalam bus antar kota yang membawaku hari ini, dengan handsfree yang menyumbat telingaku dengan lagu mendayu dan sebuah buku berkisah syahdu. Diluar terlihat terik matahari yang melelehkan. Aku duduk bersama perempuan muda yang sama sibuknya mendengarkan musik, usianya mungkin hampir sama denganku. Ia mengenakan busana modis dengan hijab yang ditata dengan apik, begitu cantik. Di seberang tempat duduk kami terlihat seorang lelaki sedang mencoba mengacuhkan sekitar dengan mencoba tidur, sang kondektur lalu lalang di tengah koridor bus yang sempit untuk menagih karcis, sepertinya ini sudah kali kelima ia berlalu. Aku kembali mencoba masuk dalam pesona majic salah satu pengarang favoritku, tapi sayangnya tidak berhasil. Kata-kata itu hanya melintas sekelebat lalu hilang tanpa sedikitpun mengurai makna. Akhirnya ku tutup lembaran itu dan aku hanya menatap keluar jendela. Jalanan yang dilewati riuh oleh suasana pasar yang masih ramai walaupun teriknya mentari membuat ubun-ubun s...

Membicarakan Senja

“Sudah, mari kita bicarakan soal senja.” “Senja sudah lama pergi, untuk apa dibicarakan? Mengapa tak kita bicarakan saja soal malam?”   “tapi aku hanya mau berceloteh tentang senja” Ternyata kita memang berbeda, kau mencintai malam, sedang aku mencintai senja. Kalau kau mengartikan senja adalah saat diamana matahari dipeluk malam, bagiku senja adalah segalanya. Bagiku, senja adalah ia yang akan memelukku saat aku terlewat kelelahan menghadapi dunia, yang hanya dengan aroma tubuhnya saja dapat membuatku tersenyum sejenak. Bagiku senja adalah ia yang akan selalu membawakanku secangkir harapan, mengingatkanku untuk bermimpi, dan membangunkanku untuk berlari. Senjaku adalah ia yang kelak akan menawarkanku untuk berbagi masa depan, yang kelak akan ku lengkapi kekurangannya dan kusyukuri kelebihannya. Senja yang akan aku kecup tangannya dikala pagi dan aku peluk saat senja benar-benar menyapa. Senjaku adalah kamu yang namanya akan bersanding bersamaku di sebuah akta,...

Mari Menari

Rintiknya terus datang tanpa jeda, sejuknya kian menusuk pada raga. Dan gaung jatuhnya makin menggema di telinga. Ini hujan pertamaku, setelah musim kemarau yang terlalu lama menghanguskan. Aku memilih kata menghanguskan bukan hiperbola semata, tapi karena memang begitulah adanya.    Aku sedang berjalan di tepian kota saat rintiknya datang tak terduga, tanpa payung, tanpa jas hujan, hanya selembar baju yang melekat. Matahari tlah lama pamit saat airnya tumpah ruah tanpa jeda, membuat dinginnya merambat teramat cepat. Sayangnya aku tak berniat berteduh, apalagi mengeluh. Ini rintik yang aku rindukan hadirnya, bahkan rinduku sama besarnya dengan rindu milik linden yang daunnya tlah jatuh berguguran, menyisakan hanya beberapa helai kuning dipangkal. Diujung bangunan megah, seorang bapak tua sibuk meneriakiku “Mbak, hujan deras, sini berteduh” ucapnya tanpa beranjak dari tempatnya, dan aku hanya menjawabnya dengan senyuman untuk kemudian kembali melangkah. Aku bukan ...

(apalah) Arti Sebuah Nama

  “Apalah arti sebuah nama” begitu ungkapan salah satu sastrawan ternama sepanjang masa. Bagi sebaagian orang, arti sebuah nama memang tidak berarti apapun, sayangnya bagi sebagian lainnya arti nama bahkan segalanya. Lalu, bagaimana arti sebuah nama bagiku? Mari ijinkan aku menceritakannya. Dulunya bagiku arti satu nama seseorang tak terlalu penting. Tetapi semakin aku bertambah usia dan belajar tentang banyak hal, arti atau makna dari sesuatu jadi sangatlah penting. Nama seorang anak, aku yakini adalah doa dari orang tuanya. Nama itulah yang akan melekat selamanya hingga ia tak lagi bernyawa, yang kemudian akan berpengaruh pada bagaimana ia menjalani hidupnya. Aku menemukan seorang yang bernama “Atisha” yang artinya kedamaian.  Jauh sebelum aku tau makna dari namanya, aku adalah pengagumnya, bukan karena apapun, tapi karena saat aku melihat wajahnya aku menukan keteduhan, hanya damai yang merambat. Aku bahkan mengoleksi foto Atisha hanya untuk berlama-lama me...