Ini memang soal kebiasaan. Kebiasaan ini dimulai ketika
umur kami masih 13. Kami adalah sahabat yang saling mengagumi dalam diam,
sahabat yang saling mengasihi dalam doa. Bukan lewat sentuhan.
Kami duduk di sekolah dan kelas yang sama saat itu, kami
mengenal bukan karena kebiasaan yang sama, bagaimana bisa aku yang tak dapat
duduk tenang ini bisa bersahabat dengan dia yang jarang mengeluarkan suara, ya,
ini kekuasaan Tuhan yang berkata
demikian.
Kami jadi
sepasang sahabat yang serasi karena kami saling melengkapi, dia yang selalu
menjadi pendengar setiaku, sedangkan akulah orang yang selalu mengutarakan
maksudnya kepada orang lain saat ia malas berkata melebihi kebiasaannya.

Aku
mengenalnya sebagai laki-laki dengan ucapan terdatar, tapi sanggup meluluhkan.
Setiap apa yang ia ucapkan mengandung makna yang membuat aku terdiam, karena
tak menyangka di umur kami yang masih belia, dia bisa melontarkan hal yang
diluar nalarku saat itu. Di balik diamnya yang mempesona itu dia juga mempunyai
mata teduh yang selalu ku pandang saat aku tertimpa masalah dan kesedihan. Aku
menyebutnya mata pengampun.
Sedangkan
baginya aku adah gadis periang yang berubah pendiam di hadapannya, tempat ia menceritakan
apa yang tak dapat ia ceritakan kepada orang lain.
Sampai
masa sekolah menengah kami usai, tetap tak banyak obrolan yang kami tukar,
bahkan kami tak punya waktu bersama di luar waktu pulang sekolah itu. Tapi kami
tetap sepasang sahabat yang saling menyayangi dalam diam. Namun kebiasaan kami
di setiap ualang tahun masih tetap sama.
Setelah
ritual kami di tanggal 7 April di pergantian umurnya yang ke-16, kami harus
berpisah, karena Ayahnya yang ditugaskan ke kota lain di sebrang samudra. Kami
sama-sama terdiam, tak banyak kata yang sanggup kami lontarkan saat perpisahan
itu, kami hanya memeluk dalam diam, ya sentuhan terlama kami. Dan kami berjanji
akan terus berkomunikasi.
Bertahun-tahun
berlalu, aku masih secara rutin mendengar suaranya di telfon, ritual kamipun
masih terus berlangsung, walaupun tanpa bingkisan yang biasa kami selipkan di
tas sekolah masing-masing. Tapi di pergantian umurku yang ke-21 ucapan itu tak
lagi ada, tak ada lagi deringan telfon dan obrolan singkat kami menukar rindu.
Mungkin ia lupa. Hanya alasan itu yang berhasil membuat aku tenang. Akan tetapi
saat 7 April datang di tahun itu, aku mencoba menelfonnya, mengucapkan ulang
tahun. Saat itulah aku sadar, aku kehilangan sahabatku. Tak ada lagi yang
mengangkat telfonku dari sebrang lautan, ia menghilang. Tanpa pamit, tanpa
aba-aba.
Pertama
kalinya dalam bertahun-tahun kebersamaan kami, aku kehilangan. Beberapa tahun
lalu aku kehilangan mata pengampunnya dihadapanku. Hari ini aku menyadari,
sepertinya aku akan kehilangan rituan selamat ulang tahun kami.
Tapi di
hari ulang tahunnya yang ke-21 aku belajar mengerti banyak hal. Aku akhirnya
mengerti artinya ia, sahabat yang tak pernah memarahiku dengan keras. Aku
akhirnya mengerti apa itu kebersamaan. Aku mengerti tentang kasih sayang yang
tak lekang. Aku mengerti tentang artinya kamu, sahabat kecilku. Dan hari itu,
dipergantian umurmu yang ke-21 aku belajar tentang kehilangan
Kisah ini ditulis bersama alunan lagu Ipang – Sahabat
Kecil
Komentar
Posting Komentar