Pagi ini entah mengapa saya iseng
membaca twitter teh @deelestari. Penulis favorit saya, dan saya menyadari
beberapa hal.
Buku pertama yang saya baca adalah
Perahu Kertas (tahun 2011) saya masih 20 tahun saat itu. sedang berkasus dengan
cinta. Cinta kepada orang yang sedekat hubungan kakak adik tapi tak berani
memutuskan untuk melanjutkan atau mengakhiri. Buku ini adalah hal yang tak bisa
saya ucapkan maknanya. Saat itu saya stug di satu kondisi. Tak bisa bercerita
kepada siapapun. Sangat iseng membuka google dan memasukkan kata kunci “kisah
kakak adik ketemu gede” dan dengan lucunya semesta ini mempertemukan saya
dengan eBook Perahu Kertas. Tanpa
banyak pikir saya mendownloadnya. Membacanya di layar laptop, bahkan sampai
empat kali sebelum akhirnya membeli buku cetaknya sebagai penghargaan untuk
diri sendiri baru pada 2012. Saya aquarius, pecinta laut, pecinta lelaki
pendiam nan misterius. Entah guyonan semesta macam apa ini. Tapi yang pasti
setelah membaca buku itu saya berani menyatakan dan memutuskan.
Sebenarnya saya sudah mengenal
nama Dee Lestari sejak bukunya menggemparkan dunia sastra saat saya masih di
sekolah dasar. Akar, yang saat itu lambang covernya dianggap menghina salah
satu kepercayaan. Saat itu saya hanya tau bahwa Dewi Lestari adalah penulis
sastra, tanpa bernyali membaca. Walaupun saya termasuk anak SD pecinta puisi
dan sajak sastrawan besar Indonesia. Di sekolah menengah saya lebih banyak
membaca teenlit dan sebangsanya, semakin jauh lah buku karya Dee di pikiran.
Pada saat Rectoverso difilmkan
saya kembali tergugah membaca buku karya mbak Dee. Sekali membaca saya merasa
bertemu lagi dengan masa SD saya. Saya kembali membaca buku yang hanya bisa
dicerna saat hati ikut membaca. Dan lagi-lagi saya mendapat jawaban saya dari
tulisan dalam buku tersebut. Judul prosa yang berhasil membuat saya menangis
adalah “Firasat”. Kebetulan saya adalah orang yang ditakdirkan memiliki intuisi
yang lebih kuat dibanding yang lain. Saat itu diumur saya yang terhitung masih
belum dewasa, saya selalu menolak kemampuan itu. siapa yang bisa menerima bahwa
ada yang kita ketahui tapi tak bisa diucapkan, bukan karena terlalu sulit, tapi
lebih kepada tak ada yang akan percaya sampai kejadian itu terjadi. Saya sempat
mengutuk diri sendiri, tak berdamai dengan Tuhan, sampai setelah saya membaca
Firasat saya sadar, yang perlu dilakukan hanya MENERIMA. Dan saya berdamai
kembali dengan intuisi saya, firasat, dan saya kembali berdamai dengan Tuhan.
Setelah itu saya jadi pembaca
prosa mbak Dee yang lain. Filosofi Kopi, Madre. Tanpa pernah menyentuh serial Supernova.
Saya masih belum percaya diri membaca buku itu. sampai pada suatu hari saya
diajak ke toko buku oleh kawan jauh saya. Dia membeli Akar. Dan saya ingat,
saat itu saya membeli satu karya Tere Liye. Tetap masih belum berani membaca,
saya masih menganggap otak saya belum kuat membaca Supernova, saya lupa saat
itu sudah lebih dari sepuluh tahun sejak pertama kali saya memikirkan
Supernova. Sampai pada akhir 2013 saya membeli empat serial Supernova langsung.
Di dalam KBPJ saya beberapa kali
takjub, bagaimana bisa ilmu sains dikemas dalam novel. Bagaimana bisa ilmu
pasti diibaratkan dalam kisah sehari-hari, kisah cinta malah. Teori Schrödinger
yang saya pelajari di empat mata kuliah bisa dibungkus epic. Teori ketidakpastian
yang jelas membuat mahasiswa jurusan kimia seperti saya hampir chaos saat ujian
bisa dibungkus dengan begitu indahnya. Saya jadi bersyukur, saya membaca buku
tersebut baru setelah saya menjadi mahasiswa MIPA. Pada Akar saya menemukan
kedamaian lewat perjalanan Bodhi mencari makna kehidupan dan Tuhan. Pada Petir,
saya menemukan hal yang sama saat membaca Firasat, seperti lanjutan step untuk
saya. Setelah menerima dan berdamai saya belajar untuk mengendalikan kemampuan
lain tersebut.
Dan buku yang paling membuat saya jatuh cinta adalah kisah Zarah pada Partikel. Saya juga pecandu alam bebas, saya
juga termasuk yang ingin melestarikan bumi dengan cara saya, saya termasuk
orang yang sering menganalisis, mengapa bumi ini bergejolak. Di dalam pikiran
saya, manusia adalah perusak bagi bumi. Kemudian saya sangat sepakat dengan
kalimat “selama manusia masih menjadi penguasa, planet ini akan disedot hingga
tetes air terakhir, hingga oksigen habis tak bersisa di udara. Kami adalah
virus. Virus yang akan membunuh hingga inangnya mati dan ia ikut binasa.” Selama
ini saya hanya melihat kerusakan di Jawa dan Nusa Tenggara. Lewat perjalanan
Zarah saya paham betul bagaimana keadaan Bumi. Sejak saya membaca Partikel,
setiap saya berkunjung ke pantai saya selalu menyempatkan berdiam diri, duduk
di pasir pantai, menghentikan lagu “Aku Ada” yang selalu menemani, untuk
kemudian memejamkan mata dan merasakan detakan bumi yang saya cintai. Merasakan
deburan ombak. Merasakan angin berhembus. Dan saya makin jatuh mencintai alam
ini. Buku ini yang paling sering saya baca, entah sudah berapa kali. Saya tak
ingat lagi. Sejak saya menyadari detakan bumi, saya mencoba pensiun menjadi
pengepul sampah plastik. Saya bahkan lebih merasa terhormat saat makan dari
kertas minyak coklat itu dibanding makan dari Styrofoam. Saya menjadi orang
paling cerewet soal membawa pulang sampah di dalam geng liburan saya, yang
selalu membawa tumbler disegala kondisi. Walaupun saya tetap jadi yang
tersindir dengan kalimat dalam buku ini yang mengatakan bahwa manusia adalah
makhluk yang arogan karena mencoba memperbaiki bumi dengan cara mereka, setelah
kerusakan besar-besaran yang mereka buat. Yang terfikir oleh saya adalah karena
cara ini yang paling sederhana yang bisa saya perbuat setiap hari, daripada
saya semakin merasa berdosa. Suatu hari saat saya mampu berbuat lebih saya
pasti akan lakukan untuk menebus dosa.
Di buku teranyar, saya kembali
jatuh cinta pada ide cerita dan kisah perjalanan Alfa. Saya sangat belajar
memahami diri sendiri. Mencari banyak jawaban di dalam diri sendiri. Saya belajar
menyembuhkan ketakutan saya akan terlelap dalam gelap. Entah kebetulan yang ke berapa,
tapi saya pun penderita insomnia. Saat saya membaca Gelombang, saya sedang
dalam kondisi terpuruk. Tanpa penghasilan tetap, tanpa tujuan hidup bahkan. Dan
buku ini menjadi salah satu yang membangunkan saya dari mimpi panjang dalam
mata terbuka. Saya kembali membuat tujuan hidup saya lima tahun kedepan,
kembali menjadwal impian.
Entahlah, saya merasa punya
ikatan dengan banyak karya mbak Dewi Lestari. Ikatan positif yang ikut menata
hidup saya. Semesta ini selalu punya kejutan, walaupun saya meyakini bahwa
apapun yang terjadi di hidup saya sudah diskenariokan Tuhan. Sudah digariskan
untuk membuat hidup saya hidup.
Termasuk tentang pendamping
hidup. saya jatuh cinta pada sosok Gio, bahkan melebihi sosok Zarah, lewat
cerita yang sepenggal itu saya tau persis sosok yang saya cari selama ini
adalah orang dengan kepribadian seperti Gio. Saya menemukan satu di dunia
nyata, tapi masih dalam upaya untuk bersama. Semoga bisa. Doakan saja dan
aminkan saja.
Pagi ini, saat saya membaca tab
mention akun @deelestari saya sadar untuk dapat membuat perubahan kita hanya
perlu tulus melakukan sesuatu, mengemas segalanya dengan cerdas lewat hal yang
sederhana, yang dapat dinikmati dunia. Saya melihat perubahan
nyata pada kisah banyak pembaca, termasuk saya tentunya. Saya mengerti, lewat
karya kita bisa dicintai sedalam seseorang mencintai dirinya sendiri, termasuk
cara saya mencintai makhluk Tuhan Bernama Dewi Lestari.
Saya selalu berharap bisa bertemu
dengan anda, guru, kakak, mbak, teh Dewi. Hanya ingin mengatakan secara langsung. “Terima
kasih teh, untuk semua karyamu”
Terima kasih banyak. Means a lot to me :)
BalasHapus