Langsung ke konten utama

#LoveWins




Bolehlah aku sedikit bergembira karena berita yang sedang ramai di minggu ini. Soal presiden Amerika yang melegalkan perkawinan sejenis di 50 negara bagian Amerika. Yah, walaupun aku mungkin bukan salah satu orang yang akan menikah dengan sesama jenis, tapi aku turut bahagia dengan semua tagar #LoveWins. Sayangnya masih banyak yang menentang dan memandang negatif. Dan lagi-lagi kacamatanya selalu AGAMA. Lalu semua dianggap salah dari kaca mata itu. titik. Tanpa koma.

Entahbagian mana yang salah. Agamanya atau kita yang salah memandang dan mendefinisi agama. Bagiku secara pribadi, selama kita tidak bisa terbuka memandang agama, selamanya agama adalah hal yang tak bisa disandingkan dengan kehidupan bertoleransi. Kebanyakan sibuk mencela merasa paling benar, sebagian lagi sibuk menemukan alasan yang paling bisa diterima banyak orang untuk tidak membenarkan apa kata mereka yang mencela.

Kemudian aku tergelitik dengan salah satu komentar di tab mention seorang artis yang sedang dibully lini massa karena mendukung isu ini juga. Seorang berkata “jadi kamu setuju kalau penis masuk ke anus? Kamu masih islam kan? Masih sholat kan?” dan saya sedih membaca kalimat itu. yang pertama karena ternyata agama masih propaganda paling murah di bumi ini. Yang kedua, karena kaliamat diawal, menurutku pribadi ini jadi satu kesimpulan yang sangat mendiskreditkan. Mengapa saat kita berbicara di konteks homoseksualitas entah itu kaum hawa ataupun adam, selalu urusan aktifitas seksual yang paling disoroti. Bagaimana dengan kaum hetero? Tak ada sejarahnya kaum hetero dicela atau sekedar dikomentari soal kisah cintanya yang dikaitkan langsung dengan aktifitas seksual. Yang ada selalu komentar tentang cinta, sayang, kebutuhan, ketergantungan dan lain sebagainya itu.

Sederhananya seperti ini. Saat kamu ditanya seseorang, “kenapa kamu mau menikah dengan dia?” apakah pernah terlintas difikiranmu tentang jawaban “karena aku mau berhubungan seks dengan dia”. Yang akan muncul pasti jawaban, “karena dia yang bisa melengkapi aku, karena aku cinta, atau karena dia yang bisa mengerti aku.” Tapi mengapa untuk konteks homoseksualitas, logika sederhana ini tak layak diutamakan? Apakah kita akhirnya membicarakan cinta yang berbeda? Aku rasa tidak.

Sudah puluhan kali aku mendengan kisah perjuangan mereka, kawan kita yang berbeda orientasi, sampai saat ini aku ternyata masih belum bisa menganggap kisah mereka biasa saja, aku selalu berfikir kisah mereka luar biasa. Diantara banyak kisah penerimaan mereka, ditengah stigma masyarakat yang berkata bahwa kaum homoseksual (gay & lesbian) hanya mencari kesenangan untuk menikmati seksualitasnya, coba tanyakan kepadaku berapa orang yang aku temui bahkan belum pernah melakukan hubungan badan. Aku akan menjawab dengan lantang! Banyak sekali. Ditengah stigma yang banyak beredar, aku menemukan kehidupan percintaan yang tak jauh dari kehidupan percintaku. Walaupun kami berbeda orientasi. Mereka yang memegang teguh monogamy hanya dengan satu pasangan, bahkan sahabat gayku belum pernah berhubungan badan setelah berpacaran selama delapan tahun.

Lalu apa bedanya mereka dengan kita yang mengaku heteroseksual? Bukankah dikalangan hetero sebagian berkasus dengan aktifitas seksual juga, kemudian sebagian yang lain tidak. Bukankah tujuan cinta kita tetap sama, mencari seseorang yang membuat kita nyaman, seseorang yang membuat kita dapat berbagi segalanya, seseorang yang melengkapi kebahagiaan kita. Adakah yang berbeda? Rasanya tidak ada, kecuali kepada siapa masing-masing kita merasakan cinta. Sebagian mencintai lawan jenis, sebagian lagi sesama jenis. Debarannya kurasa tetap sama, cinta yang kita bicarakan juga punya definisi sama.


Lalu mengapa masih mencela, lalu mengapa masih saling menyalahkan dan menyudutkan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Dan Pengalaman Sakaw Aroma Karsa (Full Spoiler)

“Kalau wewangian bisa berbicara, suaraku pasti sudah habis menyapa mereka satu demi satu”  Jati Wesi (Surat-Surat Dari Grasse. Aroma Karsa – part 8) “Dari semua yang pernah kukenal, kamu orang pertama yang bisa membaui dunia seperti yang kubaui, yang bisa mencium apa yang kucium. Orang pertama yang mengerti.” – Jati Wesi (Separuh Misteri. Aroma Karsa – part 7) “Asmara tidak bisa dipahami, Cuma bisa dirasakan akibatnya” – Empu Smarakandi Beberapa bulan ini aku sedang keranjingan satu karya yang berhasil membolak balik pikiranku, yang membuat hatiku berjangkar di sana tanpa mau berpindah sejak awal kalimatnya sampai. Aroma Karsa, satu lagi karya terbaru Dee Lestari yang baru 16 Maret 2018 lalu resmi terbit di toko buku. Aroma Karsa sendiri diterbitkan dalam dua versi, buku dan digital. Secara digital, buku ini diterbitkan dalam format cerbung yang dibagi dalam 18 part setiap hari senin dan kamis mulai Januari lalu oleh Bookslife. Seperti yang terlihat pa...

Terima Kasih Dewi Lestari

Pagi ini entah mengapa saya iseng membaca twitter teh @deelestari . Penulis favorit saya, dan saya menyadari beberapa hal. Buku pertama yang saya baca adalah Perahu Kertas (tahun 2011) saya masih 20 tahun saat itu. sedang berkasus dengan cinta. Cinta kepada orang yang sedekat hubungan kakak adik tapi tak berani memutuskan untuk melanjutkan atau mengakhiri. Buku ini adalah hal yang tak bisa saya ucapkan maknanya. Saat itu saya stug di satu kondisi. Tak bisa bercerita kepada siapapun. Sangat iseng membuka google dan memasukkan kata kunci “kisah kakak adik ketemu gede” dan dengan lucunya semesta ini mempertemukan saya dengan eBook Perahu Kertas. Tanpa banyak pikir saya mendownloadnya. Membacanya di layar laptop, bahkan sampai empat kali sebelum akhirnya membeli buku cetaknya sebagai penghargaan untuk diri sendiri baru pada 2012. Saya aquarius, pecinta laut, pecinta lelaki pendiam nan misterius. Entah guyonan semesta macam apa ini. Tapi yang pasti setelah membaca buku itu saya ber...

Pelukan Kebebasan

Pukul 22.00. waktu dimana SMSmu hadir. Selalu di waktu ini. Terkadang sebelumnya, saat kamu terlalu cepat pulang dari ritualmu menghirup kopi. Kadang pula setelahnya, saat kamu terlalu sibuk dengan kawan bicaramu. Kita bisa berbicara berjam-jam di waktu malam, sebelum aku akhirnya sempat pensiun sebagai nocturnal. Saat bersamamu, aku selalu berfikir, ternyata jarak Surabaya – Semarang hanya sejengkal di dalam obrolan kita. Tak pernah lebih jauh. Kamu orang yang menyadarkan aku akan banyak hal yang berkaitan dengan hukum. Orang yang selalu berkata padaku, “Sekarang orang baik sudah langka, aku mau kita jadi salah satunya.” Dan kemudian aku selalu mengingat itu saat aku acuh terhadap orang lain. Saat itu kita memang sama-sama mengejar mimpi. Mimpi masing-masing yang memang tinggal selangkah dalam genggaman. Hubungan pertamaku dengan orang yang tak pernah protes dengan segala kesibukanku, karena kamu pun demikian sibuknya. kamu yang sebegitu dewasanya menanggapi aku yang khawa...